Apa Kabar Hindania?
Sejak beberapa bulan yang lalu aku berkenalan denganmu melalui goresan pena Yangku. Dirimu begitu membuatku terpukau, jatuh cinta, dan ketahuilah aku ingin benar mengenalmu lebih dalam lagi. Mengapa engkau menyimpan begitu banyak misteri dalam kehidupanmu? Tidak! Kurasa kini aku tahu alasanmu itu. Hindania… begitu luhur setiap langkah dalam hidupmu, setiap tuturmu mengandung makna, namun tetap saja dirimu merendah tak pernah berlaku sombong… dan satu sifat itulah yang membuatku semakin jatuh cinta padamu: hidupmu tak lebih dari sebuah pengabdian pada semesta.
Jadi, untuk apa memaksa anak, cucu, cicit, dan keturunanmu selanjutnya mengetahui hidupmu? Sekadar untuk membebani mereka? Itu bukanlah sifatmu, aku mengerti itu Hindania… Terpahamilah bagiku, Hindania adalah sosok yang memilih untuk dipilih. Hindania… anak-anak keturunanmu tentu bangga memiliki ibu sepertimu yang senantiasa mencintai mereka. Ibu yang senantiasa memberi tanpa harus diminta. Namun, aku mengerti betapa perihnya cinta yang diabaikan. Untuk memilikinya engkau hanya dapat berdiam, menyimpan setiap butir kebijaksanaanmu yang di kemudian hari akan diaku-aku kan oleh anak-anakmu setelah mereka kehilangan. Engkau hanya membutuhkan cinta dari mereka –anak keturunanmu yang bersedia memeliharamu dan menyerahkan seluruh hidupnya untukmu tanpa kamu harus meminta.
Oh Hindania… masih teringat olehku cerita Yangku tentang anakmu yang meronta dan rela menyerahkan seluruh hidupnya untukmu. Anak-anakmu yang berjuang untuk melepaskanmu dari Wollandia, suami yang tak ubahnya seperti perampok. Hindania… bahagiakah engkau mendengar kini anak keturunanmu telah merdeka? Ternyata, engkau lebih mengetahui keadaan mereka dibanding mereka sendiri yang mengalami. Benar katamu… mereka tetap saja dikekang. Sejarah rupanya sulit dipahami mereka, Hindania.
Hindania dan Yangku yang sangat kucinta… perjuangan kalian akan senantiasa diingat oleh anak keturunanmu, tetapi mereka tak lebih dari sekadar makhluk kuno seperti yang dikatakan Herbert Spencer. Hanya kejayaanmu yang mereka ingat, tapi tak pernah ada langkah maju dari diri mereka sendiri.
Hindania dan Yangku… mungkin kalian akan menitikkan airmata melihat keberdaan anak keturunanmu yang saling menyerakahi satu sama lain. Ingatkah kamu, Hindania? Dahulu anakmu tak diizinkan menyinggung hartamu oleh Wollandia, mereka tersingkir, dibuang, tak diizinkan menjagamu. Engkau tahu Hindania? Sebagian dari mereka memerjuangkanmu, hingga tibalah saat bagimu untuk tersenyum saat mereka dapat mencintaimu dengan leluasa. Tapi semua itu tak berjalan lama. Enam puluh sembilan tahun kemudian semua berubah. Hanya sedikit dari mereka yang bertahan, mencintaimu dengan ketulusan.
Kini, anak keturunanmu saling memerebutkanmu, Hindania… senangkah dirimu tentang kabarku ini? Aku pun tahu jawabanmu tanpa harus Yangku bangkit kembali dan menjawab pertanyaanku itu. Aku mengerti… tak sedikit dari mereka memerebutkanmu bukan karena cinta seperti yang engkau dan Yangku miliki. Mereka tidak lebih dari sekadar orang-orang yang mengartikan cinta untuk dimiliki, dikuasai… bukan untuk dipelihara, dilestarikan, dibimbing untuk tumbuh menjadi yang lebih baik.
Hindania dan Yangku… aku tidak mengerti perasaan kalian kini. Akan tetapi, aku bersyukur… setidaknya anak keturunanmu yang satu itu sedang mencoba memberikan cinta terbaiknya untuk kalian berdua. Semoga semangat dan cita-cita kalian berdua senantiasa membimbing kami ke arah yang lebih baik. Untuk itu… tunggulah waktu bergulir yang semoga membuatku membawa kabar yang indah dan bahagia bagi kalian berdua, Hindania dan Yangku, serta anak-anakmu yang begitu mencintaimu dengan segenap jiwa dan raganya…
The day of Peace begins the dawn
Dark Error’s night will soon be gone
Poor mortals long have been astray
And knowledge now will light the way
-R. Owen-
Dewi Tri Utami, Karya dari Mahasiswi S1 Filsafat UGM disarikan dari Mohammad Hatta berjudul Nasib Hindania dimuat dalam buku Karya Lengkap Bung Hatta Buku 1 Kebangsaan dan Kerakyatan, LP3ES, Jakarta