ISIS, “Khilafah”, dan Indonesia
Oleh: Azyumardi Azra
Islamic State of Iraq and Sham/Syria kini tidak hanya mengancam eksistensi Irak dan Suriah, tetapi dalam batas tertentu mungkin juga Indonesia.
Ini terlihat dari beredarnya video Islamic State of Iraq and Sham/Syria (ISIS) di Youtube pasca Idul Fitri lalu di mana seorang Abu Muhammad al-Indonesi dengan berapi-api memprovokasi warga Muslim Indonesia untuk menyertai “jihad” ISIS di Levant (Irak dan Suriah). Dikelilingi beberapa orang berwajah Indonesia bersenjata lengkap, video itu jelas memperlihatkan keterlibatan sejumlah Muslim Indonesia di medan perang ISIS.
Keterlibatan segelintir warga Indonesia dalam aksi pergolakan (insurgencies) di luar negeri bukan hal baru. Menurut laporan berbagai sumber, ada 30-an atau 50-an warga Indonesia yang turut dalam aksi kekerasan ISIS. Mereka agaknya semula bergabung dengan barisan perlawanan bersenjata terhadap Presiden Bashar al-Assad di Suriah.
Preseden keterlibatan warga Indonesia dalam aksi bersenjata bisa ditemukan sejak 1985-an dalam perang di Afganistan dan konflik di Pakistan. Sejumlah warga Indonesia juga dilaporkan berlatih kemiliteran di Libya. Kembali ke Tanah Air, di antara mereka ada yang melakukan kekerasan dan teror yang marak sejak awal 2000-an. Modus, pola, dan dampak yang muncul dari keterlibatan warga Indonesia terhadap kehidupan agama, sosial, dan politik di Tanah Air bisa terlihat. Meski gagal merekrut warga Muslim Indonesia dalam jumlah besar untuk mendukung aksi dan tujuan mereka, kelompok-kelompok ini mendorong peningkatan intoleransi dan radikalisasi yang dengan cepat bisa jadi terorisme di Tanah Air.
Instabilitas politik dan ISIS
Bisa dipastikan, kemunculan ISIS terkait dengan ketidakstabilan (instabilitas) politik dan keamanan di negara-negara Arab. Menurut sebuah teori sosiologi politik, tatkala negara lemah—tidak mampu memelihara stabilitas politik dan keamanan—saat itu pula aktor dan kelompok non-negara menguat untuk menguasai wilayah yang vakum dari kekuasaan negara.
Dunia Arab atau Timur Tengah secara keseluruhan merupakan salah satu wilayah regional paling tak stabil sejak Perang Dunia II usai. Sejak masa itu sampai kini, wilayah ini hampir selalu jadi pusat pergolakan politik dan kekerasan. Faktor utamanya konflik Palestina-Israel, pertarungan dan kontestasi di antara negara Arab sendiri, serta konflik politik domestik di banyak negara Arab antara rezim otoritarisme dan gerakan Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan sejumlah kelompok sempalannya serta kaum Salafi.
Puncak instabilitas Dunia Arab dewasa ini bermula dengan serbuan Amerika Serikat dan sekutu ke Irak untuk menjatuhkan Presiden Saddam Hussein, Maret 2003. Sejak saat itu, Irak berubah dari salah satu negara terkuat di Timteng menjadi wilayah paling tidak stabil yang membara dengan konflik sektarianisme religio-politik. Mundurnya pasukan AS dan sekutu berikut terbentuknya pemerintahan Irak (kini di bawah PM Nuri al-Maliki) membuat kondisi Irak kian memburuk; memberi banyak ruang bagi kemunculan kekuatan aktor non-negara yang umumnya kelompok radikal paramiliter.
Instabilitas Dunia Arab meningkat ketika transisi menuju demokrasi yang secara signifikan bermula sejak awal 2011. Transisi demokrasi tak hanya merontokkan negara-negara kuat di Dunia Arab, seperti Mesir, Libya, dan Suriah, tetapi juga gagal mewujudkan keseimbangan (equilibrium) baru yang krusial untuk mewujudkan stabilitas politik, sosial, dan agama.
ISIS lahir dari instabilitas politik, sosial, dan agama. Ketika gelombang demokrasi sampai ke Suriah, berkecambahlah sejumlah kelompok oposisi; sebagian murni gerakan “pro demokrasi”, lebih banyak lagi kelompok militan-radikal dengan semangat sektarianisme keagamaan bernyala-nyala. Kelompok-kelompok terakhir awalnya mendapat bantuan dana dan persenjataan dari Arab Saudi, Qatar, Uni Eropa, dan bahkan AS. Negara-negara ini kemudian menghentikan bantuan karena ternyata kelompok paramiliter yang mereka bantu sangat divisif dan sebagian berafiliasi dengan Al Qaeda. Hasilnya, kelompok-kelompok paramiliter gagal menumbangkan rezim Assad yang ternyata cukup tangguh karena juga dibantu paramiliter Hezbollah. Sejak awal 2013, ISIS berhasil mengonsolidasikan sejumlah kelompok radikal yang berkonflik satu sama lain untuk mengalihkan target: menguasai wilayah Suriah bagian timur dan Irak bagian barat yang tak bisa dikuasai efektif oleh Pemerintah Damaskus dan Baghdad.
“Khilafah” utopian
Menguasai wilayah-wilayah tersebut, ISIS mendeklarasikan entitas politik baru yang mereka sebut sebagai khilafah. Menggunakan sentimen sektarianisme Sunni versus Syiah dan khilafah sebagai entitas politik pemersatu umat Islam sedunia, ISIS menyeru kaum Muslim sedunia—termasuk Indonesia—untuk mendukung dan bergabung dengan mereka.
Seruan ISIS itu memiliki potensi mendapat sambutan dari kalangan Muslim awam yang tak paham geopolitik Dunia Arab, khususnya Irak dan Suriah. Atau orang-orang Muslim yang memegang idealisme utopian tentang kesatuan umat Islam sedunia di bawah satu entitas politik tunggal khilafah tanpa memahami konsep khilafah itu sendiri beserta implikasi dan konsekuensinya. Meski ada potensi ISIS bisa merekrut segelintir Muslim dari berbagai penjuru dunia, pada saat yang sama ISIS mengandung lebih banyak potensi mendapat perlawanan dari mayoritas terbesar umat Islam. Hal ini terkait terutama dengan paham keagamaannya yang bersifat ”ultra-puritan” yang bahkan jauh lebih ekstrem daripada paham Wahabiyah.
Memegang paham keagamaan “ultra-puritan”, ISIS menghancurkan banyak masjid di wilayah yang mereka duduki, dengan alasan masjid-masjid itu jadi ”tempat pemujaan” berbau musyrik yang bertentangan dengan akidah tauhid. Dengan paham keagamaan “ultra-puritan”, ISIS berniat menghancurkan Kabah di Mekkah yang menurut mereka telah menjadi pusat pemujaan kemusyrikan.
Harus diakui masih ada kalangan umat Islam di berbagai penjuru dunia yang mengimpikan khilafah. Bagi mereka, khilafah adalah satu-satunya institusi atau entitas politik yang bisa mempersatukan umat Islam seluruh dunia. Menurut mereka, hanya dengan khilafah, umat Islam sedunia dapat mengatasi masalah semacam keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran, dan berbagai bentuk kenestapaan lain. Karena itulah, dari waktu ke waktu selalu ada kelompok di kalangan umat Islam yang mengorientasikan cita gerakan mereka untuk pembentukan khilafah. Di antara mereka ada yang bergerak secara damai atau kekerasan seperti ISIS.
Padahal, konsep khilafah itu sendiri problematis dan utopian. Terdapat banyak perbedaan konsep dan praksis khilafah di antara para pemikir Muslim penggagasnya sejak dari Jamaluddin al-Afghani, ’Abdul Rahman al-Kawakibi, Abu al-A’la al-Mawdudi, sampai Taqiuddin al-Nabhani.
Utopianisme khilafah juga terletak pada kenyataan bahwa kaum Muslim di sejumlah kawasan telah mengadopsi negara-bangsa berdasarkan realitas bangsa dengan tradisi sosial, budaya, dan agama distingtif; wilayah geografis; dan pengalaman historis berbeda. Karena itu, ”unifikasi” seluruh wilayah Dunia Muslim di bawah kekuasaan politik tunggal merupakan angan-angan belaka.
Khilafah jelas tak relevan dengan umat Islam Indonesia. Ormas-ormas Islam Indonesia pernah membentuk Califat Comite seiring penghapusan “khilafah” di Turki pada 1924 oleh kaum Turki Muda; mereka bermaksud membela dan menuntut agar “khilafah” di Turki dihidupkan kembali. Merespons gejala ini, “the grand old man” Haji Agus Salim menyatakan, komite itu beserta khilafah tak relevan dengan Indonesia. Menurut dia, apa yang disebut “khilafah” di Turki adalah kerajaan despotik dan korup yang tak perlu dibela, apalagi diikuti umat Islam Indonesia. Pasca Califat Comite, khilafah hampir sepenuhnya absen dalam wacana pemikiran Islam Indonesia. Ormas-ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, hampir tak pernah bicara tentang khilafah , sebaliknya menerima dan mengembangkan konsep dan praksis negara-bangsa Indonesia.
Langkah respons
Meski konsep khilafah jelas tak relevan, sejumlah pihak di Indonesia perlu mencermati dan mewaspadai penyebaran ajaran dan perekrutan ISIS. Walau potensi keberhasilannya relatif kecil, gagasan dan praksis ISIS dapat menimbulkan masalah serius dalam kehidupan politik, agama, dan sosial di Tanah Air. Hampir bisa dipastikan, pendukung utama ISIS dengan khilafah-nya adalah sejumlah orang atau kelompok kecil radikal yang selama ini aktif di Indonesia. Mayoritas terbesar umat Islam Indonesia arus utama yang umumnya tergabung di NU, Muhammadiyah, dan banyak lagi di seantero Nusantara jelas menolak “khilafatisme” dan kekerasan.
Meski demikian, ormas-ormas ini perlu meningkatkan usaha menyosialisasikan konsep dan praksis Islam rahmatan lil’alamin, jihad yang sebenarnya, dan komitmen pada negara-bangsa Indonesia sebagai bentuk final perjuangan umat Islam Indonesia. Pada saat yang sama, pihak keamanan dan aparat pemerintah lain mesti lebih proaktif menangkal penyebaran dan tumbuhnya kelompok-kelompok pro ISIS. Polri perlu meningkatkan pengawasan dan tindakan seperlunya terhadap kelompok yang menurut data Polri memiliki rekam jejak praksis radikal. Tak kurang penting pihak Kemlu, khususnya KBRI di kota-kota seperti Damaskus, Baghdad, Amman, Doha, dan Istanbul, mesti meningkatkan usaha memantau lalu lintas WNI. Hal ini antara lain bisa dilakukan lewat kerja sama dengan imigrasi negara-negara terkait.
Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah; Direktur SPS UIN Jakarta; 2014 Fukuoka Prize Laureate