Kembali Ke Fitrah Kebangsaan
Semoga kepulangan ke fitrah kesejatian manusia memijarkan semangat kembali ke fitrah bernegara. Dalam krisis jatidiri dan disorientasi politik, pilihan terbaik memang kembali ke akar. Meminjam ungkapan Amartya Sen, “Join the past to build a new!” Kenanglah akar ketulusan dan kelurusan niat para pendiri bangsa! Dalam mengambil keputusan yang sulit, para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) terlebih dahulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan doa agar keputusan yang diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati yang murni dengan penuh keikhlasan.
Kenanglah akar rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan, “Saya hanya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”
Kenanglah akar kesungguhan para pendiri bangsa dalam mencapai yang terbaik! Menanggapi Soepomo, yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang sempurna di masa perang, Soekarno mengingatkan, “Saya peringatkan tentang lamanya perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali lebih lama dan jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan pada kesempurnaan.”
Dengan akar semangat ketulusan, tanggung jawab, dan kesungguhan itulah negara ini didirikan dengan visi yang jelas, seperti tercermin dalam pembukaan konstitusi. Menurut penjelasan UUD 1945, ada empat pokok pikiran yang terkandung di dalamnya.
Pertama, negara hendak melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut pengertian ini, negara hendak melindungi dan meliputi bangsa seluruhnya, mengatasi segala paham perseorangan dan golongan.
Dalam visi negara ini, tidak sepatutnya negara a bai terhadap batas-batas wilayah negara sebagai titik genting kedaulatan negara-bangsa. Dalam konsepsi kerajaan, titik tumpu otoritas negara memang terletak pada pusat negara. Tetapi, dalam konsepsi negara-bangsa, pertaruhannya justru terletak pada kemampuan negara dalam melindungi wilayah perbatasan.
Seturut dengan itu, tidak sepatutnya juga negara membiarkan suatu golongan atau perorangan menganiaya dan menyengsarakan yang lain atas na ma klaim mayoritas atau kekuatan fisik dan material. Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam visi negara ini, berlaku prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Tidak sepantasnya, pejabat negara cuma mau mendapat untung dengan membiarkan rakyat terus buntung. Di manakah letak rasa keadilan saat wakil rakyat lebih memikirkan kenaikan gaji dan tunjangan serta fasilitas dan gedung baru nan mewah, ketimbang menyelamatkan perekonomian rakyat dari korupsi dan penyerobotan pihak asing?
Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan. Dalam visi negara ini, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka `musyawarah-mufakat’. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte golongan mayoritas atau kekuatan modal perseorangan, melainkan dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas dan deliberatif setiap warga negara tanpa pandang bulu. Di manakah letak kedaulatan rakyat ketika para pejabat terpilih lebih menghormati pemilik modal ketimbang memperhatikan amanat penderitaan rakyat?
Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam visi negara ini, pemerintah dan penyelenggara negara wajib memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Di manakah letak budi-pekerti kemanusiaan dan moral yang luhur dalam suatu kecenderungan para pejabat negara yang lebih mementingkan simbolisme dan perayaan keagamaan ketimbang menjunjung tinggi etika publik, lebih menonjolkan gairah peribadatan tanpa semangat pengorbanan?
Pokok-pokok pikiran Pembukaan itu menjadi sumber kebatinan dari UUD dalam mewujudkan cita-cita hukum. Ketika semangat pokok-pokok pikiran itu tak terpantulkan dalam kehidupan bernegara, hukum dan perundang-undangan kehilangan elan vitalnya. Berbilang undang- undang dihasilkan, namun kehidupan warga makin tak terlindungi, kesenjangan sosial melebar, daulat rakyat melemah, dan moral pejabat negara bobrok.
Pelbagai krisis yang timbul di sepanjang ekstravaganza pesta demokrasi saat ini pada hakekatnya merupakan letupan permukaan dari krisis kebatinan karena pengabaian. Semoga dengan kembali ke fitrah manusia dan fitrah ber negara, kita bisa menemukan kembali tenaga batin yang dapat mengantarkan bangsa meraih kemenangan!