Kesadaran Berwawasan dan Berkebangsaan Indonesia
Persoalan kebangsaan kita sebenarnya justru telah ”dihancurkan” oleh negara itu sendiri, yang dipresentasikan oleh bobroknya moralitas elit dan lembaga negara. Merujuk pada apa yang diberitakan media, kebobrokan moral bangsa telah mencapai level yang yang mencemaskan. Tingkat kebobrokan moral ini telah ditunjukkan para elit dan juga masyarakat. Di kalangan birokrasi pemerintah, hampir semua lembaganegara tidak bersih dari kasus korupsi.
Hingga saat ini misalnya, tercatat 158 kepala daerah, yang terdiri atas gubernur, walikota dan bupati tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antara mereka sudah divonis bersalah. Aparat di sejumlah lembaga negara seperti Komisi Yudisial, komisi Pemilihan Umum, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, Bank Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak, juga tersangkut kasus korupsi. Bahkan di Dewan Perwakilan Rakyat, lebih dari 42 anggotanya terseret kasus korupsi.
Kasus serupa juga terjadi di lembaga daerah, termasuk DPRD. Institusi penegak hukum yang semula diharapkan bisa memperbaiki keadaan ternyata kondisinya sama saja, bahkan lebih parah. Jika tahun 2009 Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi pada 78 hakim, tahun 2010 malah meningkat menjadi 107 hakim yang mendapat teguran hingga diberhentikan.
Di institusi kejaksaan, jika tahun 2009 ada 181 orang yang dikenai sanksi, pada tahun 2010 malah meningkat 60 persen menjadi 288 orang. dari 288 orang yang dikenai sanksi tersebut, 192 di antaranya adalah jaksa. Kondisi kepolisian tidak jauh berbeda. Selama 2010, misalnya sebanyak 294 polisi dipecat dari dinas Polri yang terdiri dari 78 perwira, 272 bintara dan 4 tamtama. Jika kondisi ini dibiarkan bisa menuju kehancuran (Kompas, 20 Juni 2011).
Barangkali karena keadaan ini Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) , mengadakan seminar mengenai Wawasan Kebangsaan : Implementasi Untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilaksanakan di Medan. Saya diminta sebagai salah seorang narasumber. Tentu, di tengah persoalan kebangsaan dan merosotnya moralitas para elit kita saya menyambut baik dan memberikan pemikiran mengenai Wawasan Kebangsaan dalam seminar ini.
Persoalan Wawasan Kebangsaan
Sebelum memberikan uraian lebih lanjut mengenai Wawasan Kebangsaann–terus terang saja, terbetik dalam pikiran saya, masih layakkah kita mengharapkan idealisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)–mengenai Wawasan kebangsaannya di tengah persoalan sosial ekonomi politik maupun hukum yang menjadi tanggung jawab negara yang belum memberikan keadilan? Bukankah Wawasan Kebangsaan sebagaimana disebutkan Benedict Anderson (1991) terkait erat dengan rekonstruksi realitas sosial dan politik?
Bagaimana kita merekonstruksi realitas persoalan kebangsaan kita sebagaimana disebutkan di atas dan ”memaksakan” idealisme Wawasan Kebangsaan kita terhadapa NKRI? Dalam konteks ini saya lebih suka menggunakan pemikiran Bennedict Anderson dalam memahami Wawasan Kebangsaan. Menurutnya, Wawasan Kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (sociallyand politicallyconstructed).
Menurut Otto H. Hadi (2011), pandangan Bennedict Anderson sangat berkorelasi dengan pemahaman realitas sistem Talcott Parson (1951) dalam memahami pemahaman Wawasan Kebangsaan.Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons (1951) mengenai teori sistem, Wawasan Kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya.
Dalam tataran ini Wawasan Kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya.
Jelaslah, bahwa wawasan kebangsaan tumbuh sesuai pengalaman yang dialami oleh seseorang, dan pengalaman merupakan akumulasi dari proses tataran sistem lainnya, yakni sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem politik (Otto H. Hadi). Pada tataran sub-sistem sosial berlangsung suatu proses interaksi sosial yang menghasilkan kohesi sosial yang kuat, hubungan antar individu, antar kelompok dalam masyarakat yang harmonis. Integrasi dalam sistem sosial yang terjadi akan sangat mewarnai dan mempengaruhi bagaimana sistem budaya (ideologi/ falsafah/pandanngan hidup) dapat bekerja dengan semestinya.
Sub-sistem ekonomi dan sub-sistem politik mempunyai kaitan yang sangat erat. Ada yang mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak menempatkan bangsa kita di atas bangsa lain, tetapi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban manusia. Paham kebangsaan berakar pada asas kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Oleh karena itu paham kebangsaan sesungguhnya adalah paham demokrasi yang memiliki cita-cita keadilan sosial, bersumber pada rasa keadilan dan menghendaki kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Ekonomi yang kuat yang antara lain tercermin pada tingkat pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan yang tinggi belum menjamin terwujudnya demokrasi yang sehat apabila struktur ekonomi pincang dan sumber-sumber daya hanya terakumulasi pada sebagian sangat kecil anggota masyarakat. Dengan demikian, upaya-upaya pemerataan pembangunan yang sekarang diberikan perhatian khusus harus dipandang pula sebagai langkah strategis dalam rangka pengejawantahan dari wawasan kebangsaan.
Dapat dipahami bila wawasan kebangsaan hanya tumbuh dan dapat diwujudkan dengan energi yang diberikan oleh sub sistem lainnya. Sub-sistem politik akan memberikan energi kepada bekerjanya sub-sistem ekonomi, untuk kemudian memberikan energi bagi sub-sistem sosial dan pada akhirnya kepada sub-sistem budaya. Sebaliknya, apabila sub-sistem budaya telah bekerja dengan baik karena energi yang diberikan oleh sub-sistem lainnya, maka sub-sistem budaya ini akan berfungsi sebagai pengendali (control) atau yang mengatur dan memelihara kestabilan bekerjanya sub-sistem sosial.
Begitu seterusnya, sub-sistem sosial akan memberi kontrol terhadap sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem ekonomi akan bekerja sebagai pengatur bekerjanya sub-sistem poli budaya telah bekerja dengan baik karena energi yang diberikan oleh sub-sistem lainnya, maka sub-sistem budaya ini akan berfungsi sebagai pengendali (control) atau yang mengatur dan memelihara kestabilan bekerjanya sub-sistem sosial. Begitu seterusnya, sub-sistem sosial akan memberi kontrol terhadap sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem ekonomi akan bekerja sebagai pengatur bekerjanya sub-sistem politik. Hubungan timbal balik antara sub-sistem tersebut di atas oleh Parsons (1951) disebut sebagai cybernetic relationship (Otto H. Hadi)
Membangun Kembali Wawasan Kebangsaan
Dari kenyataan di atas, persoalan kebangsaan kita sebenarnya justru telah ”dihancurkan” oleh negara itu sendiri, yang dipresentasikan oleh bobroknya moralitas elit dan lembaga negara. Kenyataan ini menghantarkan kepada kita, pelan tapi pasti pada kehancuran negara. Wawasan Kebangsaan oleh karenanya rusak oleh kondisi ini.
Kalau seperti ini, mengapa kita (memaksakan) Wawasan Kebangsaan kepada masyarakat (rakyat) padahal sebenarnya sumber persoalan Wawasan Kebangsaan itu ada pada Negara? Sebagaimana yang disebutkan Bennedict Anderson dan Talcot Parson hubungan timbal balik yang saling melengkapi untuk menciptakan harmonisasi dengan prasyarat keadaan sosial, ekonomi, hukum maupun politik yang baik,–yang semestinya difasilitasi dan diciptakan oleh Negara, itulah yang akan menciptakan Wawasan Kebangsaan.
Saya menilai justru, yang terjadi sekarang ini, negara dengan kekuasaan yang dimilikinya melempar dan mempermasalahkan ”ambruknya” Wawasan Kebangsaan itu kepada masyarakat. Masyarakat menjadi objek kesalahan dari Wawasan Kebangsaan. Metode yang dilakukan adalah dengan cara”pengalihan isu” dimana negara dapat meletakkan dan memaksakan kekuasaannya. Isu-isu seperti terorisme, Negara Islam Indonesia (NII) adalah beberapa contoh kasus yang mengemuka.
Dengan cara seperti ini, Negara seolah menjadi pelopor dan pejuang Wawasan Kebangsaan serta merencanakan masa depan masyarakat (Mansour Fakih, 2005). Dalam keadaan seperti ini, Negara telah memanfaatkan posisi tawar masyarakat yang lemah (Adi Suryadi Cula, 2006).
Rekayasa terhadap masyarakat yang dianggap tidak memiliki kekuasaan menjadih dalih dan legitimasi negara untuk memaksakan kekuasannya dan dengan itu, segala kelemahan Negara menjadi terkaburkan (John M. Bryson, 2005). Pendekatan negara seperti itu, bukan saja justru akan semakin menghancurkan Wawasan Kebangsaan tetapi di sisi lain jelas hanya akan mempercepat proses kehancuran negara.
Saya kira, sekali lagi, persoalan Wawasan Kebangsaan kita berada di level atas, yaitu negara. Oleh karenanya, harus dimunculkan kesadaran untuk menumbuhkan karakter dalam negara. Keteladanan dari para elit harus menjadi cermin sehingga masyarakat bisa mengikutinya. Keteladanan ini bukan saja harus ditunjukkan dari sikap, tetapi juga implikasi pada bidang ekonomi, sosial, maupun politik yang berkeadilan.
Sebab Wawasan Kebangsaan hanya wujud jikalau hal-hal ini terimplementasikan. Tanpa itu, Wawasan Kebangsaan sebagaimana dinyatakan oleh Bennedict Anderson hanyalah sesuatu yang dibayangkan. Kenichi Ohmae, penulis buku terkenal, The End of Nation State: The Rise of Regional Economies (1995) menjelaskan bahwa kehancuran suatu bangsa akan terjadi jika negara hanya memfasilitiasi dan fokus pada distribusi kesejahteraan kepada kelompok tertentu saja. Nah, melihat bobroknya moralitas elit Negara kita,–pemegang otoritas distribusi kesejahteraan, bangsa kita bisa menuju kehancuran.
Warjio, PhD, Penulis adalah Dosen Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Politik dan Magister Studi Pembangunan FISIP USU.