Kisah Soekarno dan Tongkatnya

“Apakah tongkat ini sakti seperti milik kepala suku indian?” kata Fidel Castro, mengomentari tongkat komando yang sering dibawa Bung Karno. Mendengarnya Bung Karno hanya tertawa. Lalu Castro meminta peci Soekarno untuk dipakainya, dan menyerahkan pet (topi) hijaunya. Merek bertukar aksesoris. “Pet itu saya gunakan saat serang Havana dan jatuhkan Batista,” cerita Castro betapa setianya pet itu.

Begitulah, Bung Karno memiliki tiga tongkat komando yang melengkapi dandanannya sebagai pemimpin negara. Ia punya tiga tongkat untuk tiga momen berbeda: bertemu jendral, pergi keluar negeri, dan berpidato. Katanya jika buru-buru, ia akan bawa tongkat berpidatonya.

Untuk apa tongkat itu? Soekarno sendiri mengaku itu hanya sebagai aksesoris semata. “Itu hanya kayu biasa yang kugunakan sebagai bagian dari penampilanku sebagai pemimpin dari sebuah negara besar,” kata Soekarno pada Cindy Adams, penulis biografinya.

Tongkat Bung Karno terbuat dari kayu Pucang Kalak. Sebenarnya pohon pucang itu banyak, tapi Pucang Kalak hanya ada di Ponorogo. Suatu malam Soekarno didatangi seseorang yang membawa sebalok kayu itu. Katanya balok itu ia potong dengan tangannya sendiri. “Ini untuk menghadapi para Jendral,” kata si pemberi kayu. Lalu Bung Karno meminta seorang senima Jogjakarta untuk mengubahnya jadi tongkat komando.

Dalam khazanah politik Indonesia, “ageman” atau bisa disebut jimat pegangan, itu sudah biasa. Sebuah benda yang dipercaya pemiliknya biasanya bisa membawa karisma, kekuatan, atau bahkan sampai bantuan khusus. Hal serupa sering kita temukan dalam kisah-kisah rakyat tradisional—terlepas benar-tidaknya kebenaran ‘kekuatan’ benda itu sendiri.

Sama seperti Soekarno, Jendral Sumitro, tokoh utama dalam rivalitas dengan Ali Moertopo saat peristiwa Malari 1974. Sebelum meletusnya Malari, Sumitro didatangi seorang anak muda berpakaian dekil. Ia menyerahkan sebuah keris pada Sumitro, “Untuk menang pak,” katanya.

Lain lagi Soeharto. Ada yang bilang sumber kekuatan Pak Harto ada di Bu Tien, malah ada juga yang mengatakan, ageman Pak Harto adalah ‘konde’ istrinya sendiri. Bicara Pak Harto, terlepas dari itu, ia memang ‘sakti’. Ia dikenal sebagai seorang petapa, ahli kebatinan yang tinggi. Ia sering bertapa kungkum di pertemuan dua arus kali di Jakarta saat sedang tarik-ulur dengan Soekarno tahun 1965-1967.

Leave a Reply

Your email address will not be published.