Membumikan Teladan Pancasila
Kering teladan dan miskin karakter, itulah kenyataan bangsa ini. Apa benar bangsa ini harus diruwat? Bagaimana tidak, setelah dagelan politik di DPR yang tak kunjung usai, kemudian maju mundurnya urusan kesejahteraan hingga peristiwa eksodus warga perbatasan ke Malaysia.
Semua persoalan tersebut sebenarnya berakar pada krisis moral, dan kebanyakan kita tidak menyadari itu sebagai sesuatu yang sangat berpengaruh bagi peradaban, jati diri dan identitas bangsa. Semua harus sadar bahwa identitas bangsa kita hanya satu, yakni Pancasila. Adanya Pancasila adalah sebagai identitas budi pekerti bangsa ini yang digali dari kearifan majemuk setiap tradisi, budaya, dan pengetahuan masyarakatnya. Pancasila menjadi penegas jatidiri bangsa dan modal dalam membangun peradaban dan keadaban bangsa. Dimana jatidiri adalah cerminan dari setiap unsur nilai yang dikandung Pancasila, yang berdaya etik dan mengikat orang-orangnya kedalam semangat kebangsaan yang berbudi pekerti luhur.
Gagasan revolusi mental harus dimaknai sebagai jalan bergantinya egoisme ke sifat gotong royong untuk kemaslahatan bangsa dan negara melalui pembangunan budi pekerti. Revolusi mental adalah kembalinya kepalsuan dan kemunafikan kepada kejujuran serta kembalinya keserakahan hawa nafsu kepada hidup yang baik. Dan kehadiran nyata dari revolusi mental adalah keteladanan. Revolusi mental tanpa akar ke-Pancasilaan yang kuat, sama halnya membiarkan bangsa tumbuh tanpa sandaran yang pasti.
Pendidikan sebagai Modal
Dunia pendidikan menjadi sebuah barometer, terkait bagaimana sebuah teladan itu membumi. Jangan sampai dunia pendidikan justru disibukkan dengan persoalan administratif, hingga waktu jadi korban. Bukannya fokus untuk kemajuan keilmuan, malah cenderung direpotkan laporan administratif, bahkan ada guyonan ‘jangan-jangan kalau mau mampir angkringan saja harus pakai nota’.
Inilah sedikit gambaran, ketika sebuah sistem masih disandera oleh mental administratif, ada ketakutan yang luar biasa yang sebenarnya diawali dari sebuah makna sederhana, yakni kejujuran. Pendidikan seakan terhenti pada persoalan administratif, makna pengajaran hilang, penelitian dan penulisan rapuh, kalaupun ada itu hanya proyek murahan yang menyita waktu.
Permasalahan mendasar dalam pendidikan bangsa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan dasar, lebih-lebih yang mengacu pada pembangunan mental dan karakter. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara birokratif-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah/tempat pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokratis yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah/tempat pendidikan setempat.
Dunia pendidikan bukanlah sebuah kantor, bukan sebuah pabrik dan juga bukan sebuah perusahaan. Dunia pendidikan adalah suatu entitas bagi pengembangan sebuah pengetahuan dan keilmuan yang tujuannya adalah menciptakan masyarakat bangsa yang berpengetahuan.
Persoalan ini hendaknya mampu ditangkap pada pelaksanaan program/kebijakan pendidikan mendatang. Kita hendaknya tahu, bahwa kebijakan pendidikan adalah bak sebuah peta bagi pendidik/pengajar yang hendak menjelajahi suatu wilayah. Kebijakan pendidikan bukan hanya pendataan yang akan memberi arah untuk memudahkan mencapai tujuan. Dia harus mampu memberi alternatif solusi atas permasalahan yang selama ini tejadi di dunia pendidikan bangsa ini.
Integrasi keilmuan Pancasila dan budi pekerti harus disegerakan, baik dalam kebijakan maupun materi pendidikan. Kita sudah pernah dan dianggap gagal jika hanya membelajarkan ‘tentang Pancasila’, tanpa kemudian memberi ruang kreatifitas yang implementatif. Jangan lagi ada materi yang disajikan di sekolah terasa memberatkan. Misalnya, di tingkat SD tidak perlu terlalu teoritis dan jumbuh dengan jargon-jargon legal-formal, tetapi lebih baik diberikan dalam bentuk kisah-kisah keteladanan yang menggugah.
Adapun di jenjang SMP dan SMA endapkan dulu materi yang seakan-akan hendak menjadikan siswa ahli politik/tata negara. Semestinya di jenjang ini, siswa diajarkan untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, aktif, dan kritis menyikapi situasi sosial dan kewarganegaraan.
Tentu, tidak semuanya harus dibebankan pada pengajar/pendidik, semua pihak harus ikut andil. Semua pihak terkait harus dapat memberikan inspirasi bagaimana kejujuran adalah nilai dasar yang tidak terkurangi sedikit pun. Sebab, sekarang ini dikhawatirkan bahwa negara ini bukan lagi menjadi tempat bersemainya kejujuran yang berujung pada sulitnya memanen keteladanan.
H. Muhaimin, Pemerhati Masalah Kebangsaan