Menggalaukan Keadilan di Indonesia

Banyak kalangan di Indonesia, khususnya kalangan akademisi semakin galau dengan bertanya, bagaimana wujud nilai luhur Pancasila khususnya sila kelima Pancasila yang menyatakan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang diyakini sebagai puncak pencapaian cita-cita bangsa Indonesia saat ini? Pertanyaan tersebut jika dibawa ke ranah sosial-ekonomi, konsep keadilan akan menghadirkan tuntutan umum seperti mewujudkan masyarakat nir-kelas dalam kehidupan sosial-ekonominya.

Lebih spesifik lagi keadilan dalam pelayanan publik yang tidak memandang perbedaan status dan kelas sosial dari anggota masyarakatnya. Jika keadilan itu dibawa pada ranah lain seperti hukum, maka ia akan dimaknai sebagai sebuah ketercapaian nilai kepastian, adil itu sendiri, manfaat dan equitas atau kepatutan dalam penegakan hukum tersebut. Artinya, hukum tidak boleh berlaku seperti belati, hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Konsep keadilan memang selalu menjadi perdebatan klasik dan tiada henti. Oleh sebab itu jawaban atas pertanyaan di atas jika melihat pada realitas terkini di Indonesia, maka sahutan jawaban yang tepat adalah “keadilan itu hanya bisa didekati”.

Masyarakat adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi adalah dambaan di setiap negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Sejak zaman prakolonial, tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, persepsi keadilan sendiri sudah mulai banyak dipikirkan. Mau-tidak mau, diakui ataupun tidak, kerajaan-kerajaan nusantara yang begitu diagungkan hingga saat ini sesungguhnya merupakan bentuk penjajahan atas masyarakat kala itu. Wilayah yang menjadi kekuasaan baik kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit sama-sama memberikan beban berupa upeti, yang kebanyakan hasil produksi wilayah tersebut dan besarannya ditentukan oleh pemerintahan kerajaan pusat, untuk disetorkan kepada kerajaan pusat sebagai wujud bakti dari wilayah tersebut kepada pemerintah kerajaan yang memimpinnya. Sebagai imbalannya adalah jaminan keamanan terhadap daerah tersebut. Upeti atau yang sekarang dikenal dengan pajak adalah bagian dari bentuk “pemerasan dan beban” meskipun diserahkan secara sukarela dan konsekuensinya kerajaan menyelenggarakan layanan publik berupa jaminan. Meskipun demikian, nilai keadilan tradisional yang berlaku kala itu masih bisa dirasakan kebahagiaanya, yang terwujud pada penghargaan kebebasan untuk berkarya di bidang kesenian dan budaya yang artefak-artefaknya lain masih bisa dinikmati hingga saat ini.

Bagaimana dengan keadilan di masyarakat Indonesia pada zaman kolonialisme dan imperialisme bangsa Belanda dan Jepang? Ternyata keadaannya tidak lebih baik, bahkan cenderung jauh lebih parah. Keadilan seakan benar-benar milik Tuhan dan tidak akan pernah menjadi hikmah untuk dibagi-bagikan kepada makhluknya. Realitas masyarakat Indonesia yang ditempatkan sebagai bangsa inlander, bangsa kelas tiga atau bangsa kelas rendahan, telah menisbikan keadilan itu. Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh kelas penguasa kepada kelas terjajah terjadi dimana-mana. Sebutan, “Hei, kamu inlander bodoh, kemarilah!” atau tulisan yang ada di toilet umum dengan nada sarkas “Anjing dan Inlander dilarang masuk” adalah wujud ketidakadilan yang menyakitkan. Ungkapan-ungkapan kekerasan tersebut hanyalah bagian kecil realitas bangsa Indonesia di zaman penjajahan.

Semangat modernisme yang mengandaikan manusia agar menjadi manusia yang memanusiakan manusia lain ternyata sama sekali tidak diwujudkan oleh bangsa Barat yang membawa ideologi tersebut. Perkenalannya dengan teknologi justru memberikan dampak pelanggaran kemanusian besar-besaran melalui ekspansi kapitalisme yang hanya mencari keuntungan sendiri bagi bangsa penjajah. Implikasi yang nyata, penyelenggaran pemerintahan penjajah terhadap pendidikan pribumi tampak seadanya atau pantas juga disebut dengan ala kadarnya. Hak berpendapat berserikat dan berkumpul dilarang. Hukum justru memperkuat posisi bangsa penjajah dan tidak melindungi bumi putera sama sekali. Pajak tidak realistis yang tetap harus dibayar kaum inlander, monopoli perdagangan dan kerja paksa yang dilaksanakan dengan kejam penjajah telah membuat bangsa Indonesia di zaman kolonial semakin memperihatinkan. Setelah Indonesia merdeka hingga pasca reformasi saat ini apakah keadilan mulai menampakkan wujud idealnya? Ternyata problematika keadilan tetap menjadi issue yang tak berujung.

Kabar yang masih hangat di telinga adalah prokontra hukuman mati terhadap terpidana Narkotika dan kontroversi pemerintah yang memperpanjang kontrak pengelolaan tambang oleh Freeport. Kasus pertama adalah ditolaknya permohonan grasi dari dua tersangka narkotika Bali Nine yang terpidana mati, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang merupakan warga negara Autralia, membuat keduanya otomatis akan dieksekusi mati. Media online Kompas.com pada hari kamis tertanggal 22 Januari 2015 memberitakan bahwa “’Kejagung RI hari ini, Kamis (22/1/2015), baru saja menerima salinan Keppres No 9/G Tahun 2015 bertanggal 17 Januari 2015 soal penolakan grasi Andrew Chan,’ kata Kapuspenkum Kejagung Tony T Spontana. Dengan ditolaknya grasi oleh Presiden, nasib Andrew Chan tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi”.

Persoalan hukuman mati sendiri telah lama menjadi prokontra. Berdasarkan sejarah umat manusia ada dua peristiwa besar yang terkait dengan hukuman mati itu sendiri. Pertama, hukuman mati yang dijatuhkan kepada Socrates (400 SM) karena ia dianggap telah menyesatkan kaum muda karena mengajarkan filsafat. Kedua, peristiwa disalibnya Yesus Kristus. Kedua peristiwa tersebut adalah bukti bahwa hukuman mati telah ada sejak dahulu. Pertanyaannya, apakah masih layak hukuman mati ini diterapkan untuk mewujudkan keadilan? Tidak adakah cara lain yang lebih manusiawi untuk memberikan hukuman selain hukuman mati? Cesare Beccaria (1738-1794) adalah tokoh yang menolak keras hukuman mati. Di dalam bukunya On Crimes and Punishment, Beccaria menolak teori hukuman yang menakutkan. Negara memang berhak memberikan hukuman kepada seseorang yang melakukan kejahatan. Tetapi hukuman tersebut harus berdasarkan persetujuan sukarela antara negara dengan warganya itu. Oleh karena itu hukuman mati tidak diperlukan, karena dengan memenjarakan seseorang dalam waktu yang lama itu lebih baik bila dibandingkan dengan mengeksekusinya. Jika melihat latar belakang bangsa Indonesia sendiri, hukuman mati juga bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 9 tentang hak hidup. Seharusnya pemerintah juga tidak teburu-buru dalam memberikan hukuman mati tersebut terlebih sudah ada Undang-Undang yang mengaturnya.

Kasus kedua tentang kontroversi perpanjangan MoU pengelolaan tambang emas antara pemerintah dengan PT. Freeport Indonesia. “’Jadi kita membuat rancangan kelanjutan Memorandum of Understanding (MoU) yang akan expired (tanggal) 24 Januari 2015,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian ESDM, R Suhyar, Jakarta, Jumat (23/1/2015)” (kompas.com Sabtu, 24 Januari 2015). Perpanjangan kontrak pengelolaan tambang yang dilakukan oleh pemerintah tersebut membuat banyak kalangan. Alasannya adalah kepemilikan dan pengelolaan pertambangan asing telah banyak memberikan kerugian baik secara finansial maupun kerusakan kronis ekosistem. Akan tetapi pemerintah berdalih bahwa perpanjangan kontrak tersebut bertujuan untuk memajukan Papua sebagai domisili pertambangan itu. Kasus tersebut hanyalah satu dari sekian banyak perusahaan pertambangan asing yang menanamkan modal di Indonesia dan ikut menikmati hasil yang sangat menguntungkan. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang didapatkan Indonesia sendiri. Kalaupun ada keuntungan kecil, itu pun lebih banyak dirasakan oleh kaum elit sendiri sebagai hasil kebijakan daripada rakyat Indonesia yang populasinya jutaan. Hal ini semakin membuktikan bahwa keadilan sosial-ekonomi di Indonesia belum sepenuhnya tercapai, atau lebih tepatnya belum merdeka dalam mengelola kekayaan negeri sendiri.

Kekayaan alam Indonesia yang melimpah telah menarik minat para investor asing untuk menanamkan modalnya di bumi pertiwi. Di zaman perjuangan juga sudah diakui kebenarannya sebagaimana Sukarno ungkapkan dengan mengutip Hendrikus Colijn, “bahwa modal asing harus terus mengerumuni Indonesia itu sebagai semut mengerumuni wadah-gula, ‘de mieren den suikerpot’”. Akan tetapi mereka, para investor, hanya mementingkan bagaimana mengembang-kan modal yang ditanamkan untuk mendapat untung yang berkali lipat tetapi justru merugikan Indonesia sendiri. Sukarno selalu mendengungkan Trisakti sebagai konsep penyelenggaraan negara dengan menekankan kedaulatan akan ekonomi, politik dan budaya. Memang konsep trisakti belum begitu jelas dan tidak mentah menolak modal asing. Akan tetapi pengelolaan dan pembatasan investasi asing itu sangat diperhatikan dan diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan bangsa sendiri. Dengan diperpanjanganya kontrak salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia ini telah menunjukkan ketidakmampuan bangsa mengelola kekayaan negeri sendiri. Belum mampu menerjemahkan keadilan pada kerangka sosial-ekonomi dan tidak mau memberikan kesempatan kepada generasi bangsa sendiri dalam mengelola kekayaan alam Indonesia.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memang masih jauh dari jangkauan dan bahkan menggalaukan setiap saat memikirkannya. Tetapi sebagai bangsa yang besar, keadilan yang diimpikan tersebut tetap harus dijaga dan tetap menjadi jalan hidup serta selalu berusaha untuk mencapainya. Kalaupun tidak tercapai sepenuhnya, paling tidak keadilan tersebut sudah dekat, minimal pada keadilan sebagai kepribadian luhur manusia Indonesia yang tetap dijiwai Pancasila dan segala atribut-atribut lain yang mengikutinya.

Surya Desismansyah Eka Putra, Penulis adalah Mahasiswa S2 Filsafat UGM