Pancasila?

Orang mengatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono se- orang peragu. Sejujurnya, apakah kita semua rata-rata tidak begitu? Berhubung presiden adalah orang nomor satu di pemerintah, karakter berkekurangan itu tampak sekali. Padahal, kita semua, dengan derajat yang berbeda, adalah serupa itu.

Betapa tidak. Kita selalu menuntut ketegasan, tetapi kalau ada pejabat yang tegas, dia dicap kaku. Kita menyuarakan kata “tuntas” bila menyangkut pemberantasan hal-hal yang merugikan kehidupan bersama, tapi kalau demi ketuntasan pemberantasan korupsi, misalnya, menyentuh kehidupan pribadi, keluarga, kelompok atau warga separtai/sejajaran, kita menuding pemberantasan itu sewenang-wenang. Dengan kata lain, kata-kata “tegas” dan “tuntas” hanyalah topeng yang menutupi keragu-raguan.

Kita mau pasrah pada kapitalisme, tetapi belum apa-apa curiga bahwa ia menelurkan disorder dan merusak ikatan tradisional kita. Kita percaya pada asas-asas toleransi walaupun ternyata tetap peka terhadap tuntutan identitas religius. Kita meyakini pemisahan kekuasaan, tetapi keberatan kalau politisi kehilangan hak-haknya. Kita menjunjung tinggi kebebasan formal, tetapi terus merindukan kebebasan riil. Kita menuntut keadilan sosial, tetapi tidak mau kalau ia mengutak-ngatik hak milik banyak orang.

Di samping berkarakter peragu, kita mudah sekali mengagumi kejayaan bangsa dan negara lain, tanpa mengindahkan semua jenis prakondisi dan kondisi yang memungkinkan kejayaan itu. Dengan spontan kita berseru supaya meniru Tiongkok setelah melihat sukses dan “kebesaran ” yang diciptakannya selama 60 tahun dengan melupakan berbagai kekerasan penguasa negeri itu yang telah mengondisikan perwujudan kemegahan tersebut.

Mengapa kita tidak bercermin pada diri sendiri dan mempertanyakan sebab musabab kita menjadi negara-bangsa yang “magek segitu“? Lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan Barat, yang selama ini mengayomi dan menggurui kita dan nyaris kita telan mentah-mentah semua resep ekonomisme dan utiliterisme mereka, sering menyalahkan sikap kita yang katanya irasional. Baiklah. Kalau kita memang tidak rasional, bagaimana menilai irasionalitas tersebut jika di bawah sorotan suatu konsep, betapapun kekurangannya, tentang bagaimana seharusnya rasionalitas itu. Di sini suatu filosofi politik perlu dilibatkan untuk menunjukkan bobot prinsip rasionalitas dari perilaku human kita dan pilihan di antara alternatif-alternatif.

Pancasila
Filosofi politik itu adalah Pancasila, yang selama ini hanya kita jadikan lip-service demi kemenangan petunjuk, yang katanya serba rasional, dari lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan dunia (Barat) dan ceramah tokoh-tokoh ekonomi asing. Kalau kita meragukan Pancasila, tidak percaya pada efektivitasnya sebagai pegangan, selaku petunjuk jalan, bagaimana kalau ia kita “buang” saja? Ternyata tidak dan inilah kemunafikan kita, buah dari keragu-raguan kita, kalaupun bukan akibat rasa rendah diri, tidak percaya pada kekuatan pemikiran filosofis sendiri. Jangankan ideologi, setiap ilmu pengetahuan di bidang apa pun, sosial atau eksakta, punya filosofinya sendiri dan setiap filosofi membina ilmu pengetahuan sendiri.

Sering Pancasila disalahkan, karena tak kunjung terwujud dalam kenyataan hidup sehari-hari. Tudinglah ini salah alamat. Pancasila hanya suatu orthodaxi, yaitu ajaran yang diyakini benar, hasil galian nalar dalam sistem nilai yang kita hayati. Kitalah, manusia Indonesia, yang harus mentransformasikannya menjadi orthopraxis, yaitu praktik yang benar dari ajaran yang benar tadi, dan dengan begitu membuktikan bagaimana Pancasila yang tidak berbentuk, hanya berupa orthodoxi menjadi nyata dalam praksis.

Kemunafikan kita selama ini sebenarnya menodai (ajaran) Pancasila. Silanya yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kita biarkan direduksi menjadi “Keagamaan Yang Maha Esa” dan ukuran “keesaan” itu adalah besarnya jumlah penganut. Kita biarkan penguasa negara telah melakukan pembiaran terhadap pemaksaan dari kelompok-kelompok yang mengklaim berstatus mayoritas. Tidak sedikit kebijakan nasional dan daerah yang diskriminatif dan melanggar kebebasan beragama. Bahkan lebih-lebih, hak asasi manusia, seperti perda-perda syariah. Pengesahan Qanun Jinayat di Aceh bahkan bersifat inkonstitusional.

Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” tidak hanya diinjak-injak oleh kelompok mayoritas dalam beragama, tetapi telah diabaikan begitu saja oleh praktik pembangunan. Praktik ini, berdasarkan konsep yang mengidentifikasi pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi serta wealth production yang mengaburkan masalah normatif, keadilan, keberadaban (martabat) manusia, demokrasi. Tekanan pada kenaikan pendapatan, misalnya, telah menjauhkan perhatian dari “apa” yang diproduksi “bagaimana”, “untuk siapa” dan “siapa” yang untung dan “siapa” yang buntung. Pembangunan human betul-betul tidak diperhitungkan.

Daoed Joesoef, Penulis adalah Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Sumber: Suara Pembaharuan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *