Redefinisi Kesaktian Pancasila
Pemaknaan dan pengkajian kembali dalam rangka pengembangan analisis untuk keilmuan sejarah terhadap peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 1965 hingga sekarang masih terbuka dan tetap berjalan.
Puluhan tahun yang lalu, Pancasila sebagai ideologi bangsa ini pernah mengalami ujian yang sangat berat. Berkat kesungguhan dan kegigihan kita untuk mempertahankannya, maka Pancasila bisa terus kita tegakkan dan hingga kini tetap menjadi dasar negara dan landasan kehidupan berbangsa.
Pengalaman itu harus mengajarkan kita semua bahwa upaya untuk merongrong ideologi bangsa ini tidak pernah akan berhenti. Kita tidak boleh lengah dan harus terus membangun kesadaran bahwa Pancasila merupakan ideologi paling pas untuk bangsa ini karena digali dari akar budaya bangsa Indonesia.
Jawaban terhadap tantangan tersebut adalah dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang benar-benar hidup. Sila-sila yang ada dalam Pancasila jangan hanya sekadar menjadi slogan kosong, tetapi benar-benar diyakini dan dijalankan seluruh warga bangsa Indonesia.
Meski sudah puluhan tahun diperingati, perdebatan kesejarahan Kesaktian Pancasila masih mengundang pro dan kontra yang tidak mudah diselesaikan. Oleh karena itu, masyarakat sekarang ini lebih membutuhkan makna baru terhadap Kesaktian Pancasila agar tidak terjebak pada ritual upacara tetapi harus memperdalamnya dengan penghayatan yang baik.
Pancasila bukan makhluk hidup yang memiliki kesaktian dan menjadi sandaran untuk melindungi bangsa dan negara. Sebaliknya, Kesaktian Pancasila terletak pada penerimaan masyarakat dan bangsa terhadap kebenaran dan kesesuaian nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Meski kini semangat Pancasila semakin kuat. Pengidentikan Pancasila ada di mana-mana. Mulai Rumah Pancasila, Desa/Kampung Pancasila sampai Pondok Pesantren Pancasila. Ini sebagai wujud reaksi masyarakat atas pelemahan nilai-nilai Pancasila yang sekarang makin tumbuh dalam masyarakat.
Sejauh ini, Pancasila masih menempel di dinding-dinding kantor pemerintah, juga pada slogan-slogannya. Dalam setiap kesempatan berpidato, setiap pejabat dan politisi masih mengaku berpedoman kepada Pancasila. Lalu, ada begitu banyak produk perundang-undangan yang menyebut Pancasila dalam konsiderannya. Akan tetapi, seperti kita ketahui, praktek kebijakan penyelenggaraan negara masih jauh akan nilai-nilai Pancasila. Penyebabnya tidak lain adalah penghayatan terhadap Pancasila yang hanya sebatas di level kognitif, tetapi tidak sampai pada penjiwaan dan implementasinya.
Alangkah baiknya jika kita kembali melakukan permenungan mendalam akan nasib eksistensi bangsa kita ke depan, yang secara menyedihkan sudah banyak ditanggalkan justru oleh kaum penerusnya sendiri. Jangan sampai ideologi bangsa ini dikubur hidup-hidup oleh bangsanya sendiri.
Untuk itulah kita ingin menantang para pemimpin bangsa ini untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang Pancasilais sejati. Ditunjukkan dengan sungguh-sungguh melaksanakan prinsip utama dari Pancasila, untuk tidak mendahulukan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan rakyat yang lebih besar. Pancasila baru benar-benar sakti jika nyata dalam kehidupan warga bangsa. Pemerintah mampu benar-benar melayani rakyatnya dan mengabdi lebih besar daripada hasrat berkuasanya.
Kita ketahui bahwa tantangan sekarang ini adalah masalah radikalisme yang semakin mengacam. Kita melihat adanya kelompok-kelompok yang secara sistematis mencoba masuk dalam ketidakbenaran yang sedang terjadi untuk menawarkan ideologi yang mereka yakini. Paham baru yang ditawarkan memanfaatkan persoalan kemiskinan dan ketidakadilan. Mereka memanfaatkan kegagalan negara untuk memberikan kesejahteraan dan kemudian dianggap sebagai kegagalan dari paham Pancasila. Kalau negara belum mampu memberikan keadilan dan kemakmuran kepada seluruh warga bangsa, itu bukan karena salah Pancasila. Pemahaman ini harus diluruskan.
Untuk itu, penyelenggara negara seharusnya contoh pertama insan Pancasilais. Karena Pancasila menentukan perilaku penyelenggara dan warga negara. Jika perilaku negara tidak Pancasilais, sulit mengharapkan warga Pancasilais. Tidak mengherankan jika kemudian banyak individu, orang, atau kelompok berlomba-lomba mencari identitas kebanggan yang lain.
Pancasila akan tetap tegak apabila kita bisa menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan lebih baik. Terutama dalam memberikan keadilan dan kemakmuran yang harus bisa dirasakan oleh semua rakyat.
Sejarah memang mengulang, namun sisi-sisi kekurangan dan kekhilafan selalu menyertainya. Sudah sepatutnya jika kita membuka lembar-lembar historisitas yang mampu mentrigger semangat kebangsaan dan kegotongroyongan. Itulah tugas yang tidak akan pernah berakhir dari kita semua. /hm/2015