Api Sejarah Soekarno
Bulan Juni adalah Bulan Pancasila. Coba kita ingat sejenak pidato Bung Karno pada 24 September 1955 yang menegaskan “Tidakkah sudah sebaiknya, sepantasnya, seyogyanya, seharusnya, semestinya, aku tidak berhenti-henti membela kepada Pancasila ini sebagai dasar negara. Dasar negara yang UUD-nya telah kusumpah. Lebih dari sumpah itu ialah keyakinan di dalam dadaku bahwa Pancasila ini adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan Negara Republik Indonesia ini.”
Dalam pidato tersebut sebenarnya hendak mengingatkan bahwa soal Pancasila bukan terletak pada pemfilosofian dan sistematisasinya yang mentereng, melainkan pada bagaimana secara konkret Pancasila hidup sebagai penyelamat negara. Fungsi ini yang tidak pernah disebutkan.
Menjaga “api” yang telah diwariskan Bung Karno adalah upaya kita untuk mengabadikan jasa dan pengabdiannya.
Sejarah memang mengulang, namun sisi-sisi kekurangan dan kekhilafan selalu menyertainya. Bung Karno pun menyadari dalam perjalanan hidupnya Bung Karno memang belum selesai menjalankan tugas untuk menanamkan semangat Pancasila pada diri setiap bangsa Indonesia. Sebagai penggali Pancasila, Bung Karno benar-benar mendalami dan turun ke bawah untuk mengetahui denyut nadi kehidupan bangsa ini. Bung Karno percaya bahwa fasalah itu akan terus hidup pada diri bangsa ini, karena sejatinya seperti itulah kehidupan rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, harus ada upaya yang bersungguh-sungguh dan terus menerus untuk membuat karakter Pancasila itu melekat pada diri sanubari setiap bangsa Indonesia. Alangkah baiknya jika kita kembali melakukan permenungan mendalam akan nasib eksistensi bangsa kita ke depan. Dengan mengetahui perjalanan sejarah ini, sudah sepatutnya jika kita membuka lembar-lembar historisitas yang mampu mentrigger semangat kebangsaan.
Semangat untuk terus memperjuangkan Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara harus tetap dikobarkan. Jangan hanya seperti api dalam sekam. Artinya, api semangat hanya akan berkobar dalam peringatan-peringatan ke-Pancasila-an namun redup di kala bangsa ini sedang membutuhkan. Ini adalah tugas yang tiada akhir bagi kita semua.
Dan itulah “api” yang harus terus kita warisi dan kita jaga.
*hm