GAFATAR DAN GERAKAN RADIKALISME
MELUASNYA isu Gafatar sebagai ormas masyarakat yang dianggap bertentangan dengan keutuhan negara perlu kembali kita kaji lebih dalam, terutama terkait tragedi Mempawah yang berujung kekerasan sosial, karena berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai warga sipil dan keamanan bagi seluruh warga masyarakat yang berpenduduk. Kita perlu rekonstruksi ulang terhadap Eks GAFATAR yang tetunya dengan tidak bisa membenarkan radikalisme masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia tidak sedikitpun menghendaki adanya aliran yang bertentangan dengan keutuhan negara (NKRI).
Dari acuan inilah, beberapa hal yang menjadi pertanyaan bagi penulis, pertama benarkah GAFATAR itu bertentangan dengan keutuhan negara. Kedua, bagaimana mereka yang berkecimpung dan terjebak dalam organisasi yang tidak mengerti terhadap seluk beluk Gafatar yang sebenarnya. Ketiga, bagaimana bisa, radikalisme masyarakat di Mempawah yang ber-akibat pengusiran paksa. Keempat, dimanakah kebebasan dan hak sebagai penduduk Indonesia.
Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar mampu mendeklarasikan sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) yang berasaskan Pancasila, diprakarsai oleh 51 orang pada tahun 2012 dan pada saat itu pula terdiri dari 14 DPD perwakilan dari setiap propinsi dengan ketua DPP Mahful M Tamanurung. Keberadaan Ormas Gafatar di Indonesia ini sudah cukup lama dan citra yang dibangun dengan membawa program positif terhadap masyarakat luas, seperti program pembinaana masyarakat, bantuan sosial dan gotong royong menjadikan Gafatar sebagai Ormas yang tidak bertentantangan dengan negara dan sehingga pada saat itulah perjalananya Gafatar mampu duduk dengan masyarakat sipil hingga pejabat publik.
Disinilah mulai muncul pertanyaan, mengapa gafatar dikatakana sesat oleh negera dan semenjak kapan ormas masyarakat ini dipantau oleh negara. Kesesatan Gafatar sebenarnya sudah lama dicatat oleh beberapa tulisan dan ungkapan tokoh-tokoh agama hingga para aktifis sosial sekitar tahun 2012 silam, namu mencuat kembali disaat kasus hilangnya Dr Rica di Jogjakarta yang ditangani oleh Kapolda DIY, mendapatkan Dr Rica dibawa lari oleh orang yang dianggap sebagai anggota Gafatar. Pada saat itulah, perkembangan opini publik mengkaji keberadaan organisasi hingga kaitannya dengan Ahmad Musaddek yang dikenal sebagai pembangkang terhadap negara dan bagian dari organisasi yang menegakkan Negara Islam dan beberapa argumentasinya yang mengakar terhadap pemahaman rasionalitas negara yang sebenarnya.
disamping itu, pola kaderisasi dan propaganda dalam beberapa opini yang dianggap tidak memiliki kejelasan dalam haluan organisasi disaat menyatakan agama dengan kebenaran klaim wahyu yang didapatnya dan mengkaitkan agama-negara hingga sebuah system negara yang dianut dengan dogma negatif sampai sebuah rencana besar dalam gerakan yang akan mempengaruhi keutuhan Negara. Maka tidak heran salah satu target besarnya bermula dari pulau Kalimantan dengan membangun sebuah wilayah kecil.
Kedudukan negara Indonesia bagi segenap warga nusantara baik dengan latar belakang golongan dan lainnya, sebagaimana perumusan terbentuknya negara dengan berasaskan Pancasila, diatur dalam UUD 1945, kehidupan manusia dalam bingkai Bhinnika Tunggal Ika dan batasan dalam Negara Kesatuan Republic Indonesia (NKRI) yang ditentukan oleh tiga golongan besar yang terdiri kaum Priyai, Abangan, dan Santri sudah final. Maka setiap apapun yang bertentangan dengan asas Pancasila dan keutuhan negara tidak bisa dibiarkan. Sebagaimana pasal 27 ayat 3 Bab X UUD 1945 “setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta terhadap pembelaan Negara”.
Lalu bagaimana dengan mereka yang berkecimpung dalam organisasi Gafatar ini yang sudah jelas dianggap bertentangan dengan negara. Beberapa analisis berpendapat bahwa sebagian besar yang mengikuti ormas Gafatar bermula dari latar belakang ekonomi, minimnya pengetahuan agama dan kurangnya simpatisan sosial sebagai penduduk Indonesia. Hal ini yang membuat penulis untuk merekonstruksi ulang terhadap Eks Gafatar yang diusir dari Kalimantan.
Penulis berkesimpulan bahwa sebagian besar dari 800 penduduk masyarakat yang menjadi korban pembakaran dari massa yang dianggap sebagai eks Gafatar sebagian besar dari mereka tidak terlibat terlalu jauh terhadap gafatar, berlatar belakang ekonomi yang menyebabkan keikutsertaan mereka untuk memulai hidup layak yang ditawari sebuah pekerjaan. Sehingga menjadikan mereka sebagai bagian dari Gafatar dengan hanya bermodal sebagai manusia yang terlibat sebagai manusia organisatoris. Sebagai negara yang berdaulat dalam hukum tentunya tidak membenarkan setiap proses ataupun tindakan yang merugikakan kehidupan orang sebagaimana aturan UUD 1945 pasa 27 “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusian”, oleh sebab itu, negara dan masyarakat harus jeli menyikapi keberadaan Gafatar terutama mereka yang terlibat dan tentunya sebagian besar minimnnya pengetahuan dan pemahaman terhadap kebangsaan yang utuh.
Kesadaran masyarakat sebagai negara hukum sangat perlu menjadi titik poin, karena dengan negara hukum setiap sesuatu yang bertentangan, setiap sesuatu yang meresahkan orang banyak dan setiap yang berkaitan dengan norma-norma agama dan negara ada penegak hukum yang mengatasi, dan bukan radikalisme masyarakat yang biarkan bertindak sebagai pasal 27 UUD 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, maka penulis berpendapat radikalisme kelompok atau yang mengatasnamakan sosial masyarakat tetap bertentangan dengan nilai-nilai sosial sebagaimana konsep keseimbangan dalam pluralitas dan pluralisme dalam kehidupan.
Kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk menentukan kehidupan yang tidak bertentangan denga nilai-nilai pancasila adalah kebebasan yang dimiliki oleh negara ini, maka makna kebebasan apabila lepas dari nilai-nilai yang berkaitan dengan keutuhan sebuah negara, maka dengan tindakan dengan norma-norma hukum dan tindakan yang menyesuaikan prilaku masyakat tersebuat. Dan apapun tindakannya, radikalisme masyarakat terhadap sekelompok golongan yang tidak mengerti keberadaan organisasi yang diikuti tetap tidak bisa dibenarkan.
Leo Tamam, pengurus DPD KNPI D.I. Yogyakarta dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga