[OPINI] Le Bhinneka, Le Différend
Bhinneka tunggal ika merupakan sebuah istilah, atau bisa disebut juga dengan phrase. Ia berada di bawah simbol Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Indonesia. Jika diterjemahkan secara harfiah ia bermakna “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Pemaknaannya akan sulit dipahami jika menggunakan suatu konsep yang sistematis maupun logis. Setiap yang berbeda tidak akan pernah satu, dan setiap yang satu tidak bisa berbeda. Istilah tersebut mengandung kontradiksi dan paradoks yakni “satu x plural”. Tentu saja, keduanya tidak bisa dipahami, karena tidak logis (menurut silogisme). Kategori-kategori apriori lain seperti kausalitas, kuantitas, kualitas, modalitas maupun hubungan, serta macam-macam logika seperti pembalikan, pelipatan atau perlipatan-terbalik pun tak mampu menjelaskannya.
Okee mungkin dialektika bisa menjelaskannya, tapi nanti akhirnya akan menjurus pada idealisme. Jika kemampuan kognitif tidak bisa memahami, bagaimana dengan dimensi etis? Mampukah paradoks itu didamaikan dengan kategori etis tertentu? Sayangnya, fakultas reason tidak bisa melakukan inferensi, akibat ketaklogisan yang tak bisa didamaikan, artinya ia tidak bisa disimpulkan. Bisa dikatakan bahwa paradoks tersebut tidak bisa dipahami, sekaligus tidak bisa disimpulkan.
Sayang jika selesai sampai di sana, sebanarnya kita masih bisa menaruh harapan pada estetika. Untuk itu, marilah kita mengenal kemampuan manusia yang disebut dengan judgement. Judgement berperan dalam menghubungkan reason dengan understanding. Understading bertugas mengumpulkan data-data inderawi untuk dimasukkan dalam kategori-kategori, sedangkan reason bertugas melakukan inferensi. Judgement menghubungkan keduanya dengan menerapkan yang universal kepada yang partikular (determinant judgement) atau menarik yang partikular menjadi hukum universal (reflective judgement). Jika subjek menggunakan kemampuan judgement, maka ia terlebih dahulu harus memisahkan peran understanding dan reason, judgement memiliki perannya sendiri. Cara kerja judgement yakni objek ditangkap oleh subjek dengan menggunakan imagination lalu dihubungkan dengan feeling, proses ini menimbulkan sensasi, yang kemudian menghasilkan perasaan pleasure and/or displeasure. Pleasure muncul sebagai akibat dari persesuaian antara judgement dan understanding, atau keselarasan objek dengan prinsip purposiveness, objek yang ditangkap sesuai dengan hukum-hukum kognitif, sederhananya objek memiliki raison d’être nya. Sedangkan jika objek yang ditangkap tidak sesuai hukum-hukum tersebut, tidak teratur, disharmony dan chaos, maka understanding telah gagal menjalankan perannya, artinya objek tersebut TIDAK BISA DIPAHAMI.
Keadaan ini menimbulkan feeling of displeasure. Displeasure muncul ketika imagination tidak mampu mempresentasikan objek, karena objek tiidak teratur, kacau dan tidak bisa diukur secara kuantitas maupun kualitas. Proses percekcokan yang tak terdamaikan ini tidak bisa begitu saja diinferensi menjadi tuntutan etis, karena ia akan tereduksi akibat suatu penyimpulan. Keadaan mental ini disebut dengan sublime, sedangkan proses percekcokan yang tak terdamaikan itu dikenal dengan nama le différend. Sublim merupakan keadaan ketika subjek mengalami feeling of pleasure and displeasure. Sublim memungkinkan subjek untuk memikirkan sesuatu yang tak terbatas, tak berbentuk, atau yang tak terpresentasikan (the unpresentable). Di sinilah kemudian letak estetika sublim, yakni pemaknaan akan pengalaman subjek akan ketakterbatasan.
Kembali kepada persoalan Bhinneka Tunggal Ika, istilah tersebut tidak bisa dipahami sekaligus tak mampu disimpulkan, tetapi ia bisa dialami (secara estetis). Proses mengalaminya yakni dengan menempatkannya pada sublim, yang memungkinkan subjek mampu mempresentasikan yang tak terpresentasikan dan menjadi saksi le différend. Le différend merupakan keadaan percekcokan yang tak bisa didamaikan. Ia nantinya mengarah pada politik representasi, yang memperjuangkan ruang representasi yang mengakomodasi hubungan sosial yang demokratis, ia merupakan ruang di mana hubungan sosial beroperasi, dan perjuangan kelas mengambil perannya. Politik representasi berperan dalam mempresentasikan pengalaman subjek yang (sebelumnya) tak terpresentasikan melalui phrase, dan disinilah filsafat, seni dan sastra mengambil peran pentingnya, yakni menciptakan istilah atau phrase yang mampu mempresentasikan pluralitas pengalaman subjek, yang mampu melampaui simbolisasi tradisional yang mapan. Simbolisasi tradisional dalam sex, seperti laki-laki – perempuan, dalam politik seperti warga Negara dan umat, dalam norma seperti tabu – wajar. Setiap ruang representasi memiliki aturan sendiri yang tidak bisa dinilai berdasarkan standart representasi yang lain, inilah perayaan akan keberagaman.
Saya mengacungi jempol pada siapapun yang menciptakan istilah Bhinneka Tunggal Ika, dan siapapun yang menjadikannya sebagai semboyan Negara Indonesia, karena semboyan ini tidak menjurus pada ideologi yang totaliter. Kasus Negara Jerman yang sempat mengalami kenyataan buruk dengan Nazi adalah contoh Negara yang menganut ideologi totaliter berupa fasisme, yang kemudian mengakibatkan fenomena genosida. Begitupun juga, kasus di Rusia dengan komunismenya yang otoriter, menghasilkan banyak kejahatan kemanusiaan. Setiap ideologi total yang dianut akan mengakibatkan tragedi kemanusiaan. Oleh sebab itu pluralitas harus dirayakan dan diakomodasi secara demokratis. Istilah bhineka mampu memberikan ruang representasi bagi perayaan keberagaman, lalu bagaimana dengan “tunggal ika”? “Tunggal ika” mengarah pada kesamaan (kesatuan) pemahaman akan “bhinneka”. Pluralitas ruang representasi akan berjalan demokratis jika setiap subjek menyamakan persepsi akan keberagaman. Jadi Bhinneka = Tunggal Ika, satu = beragam, Le Bhineka, Le Différend.
Yongky Gigih Prasisko
Lembaga Penelitian Rekonsiliasi dan Integrasi Sosial (LPRIS)