Pancasila dan Kurikulum Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di seluruh Indonesia dan kembali ke KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006. Keputusan ini berdasarkan fakta bahwa sebagian besar sekolah belum siap dikarenakan beberapa hal. Mislanya, masalah kesiapan buku, sistem penilaian, penataran guru, pendampingan guru, dan pelatihan kepala sekolah yang belum merata.
Lepas dari pro dan kontra terhadap keputusan tersebut, kita masih ingat betul bahwa pada Kurikulum 2013 inilah dunia pendidikan kita dikenalkan kembali yang namanya Pancasila dan Budi Pekerti. Dimana sebelumnya bernama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kemudian kembali berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) serta Agama dan Budi Pekerti.
Bahkan pada Kurikulum 2013 ini jam pembelajaran Pancasila ditambah yang semula untuk semua jenjang pendidikan hanya dua jam per minggu, kini untuk SD menjadi 4-6 jam, SMP 3 jam, dan SMA 2 jam. Ada yang menilai bahwa materi pembelajaran tentang Pancasila di bangku sekolah kini sudah semakin memadai.
Kondisi yang sudah berjalan baik tersebut kini harus berbalik arah. Keraguan masyarakat semoga segera terjawab bahwa kurikulum pendidikan sejatinya menjadi wadah yang pas untuk penanaman ideologi berbangsa dan bernegara. Jangan lantaran ketidakmampuan sebuah negara dalam mengelola pendidikan kemudian harus mengorbankan pentingnya ideologi bagi generasi bangsa.
Nasib Pendidikan Pancasila
Jangan ada niat untuk menjadikan salah satu elemen pendidikan menjadi percobaan, apalagi siswa yang menjadi tiang utama masa depan bangsa. Kurikulum pendidikan di Indonesia tidak bisa dibuat dengan main-main karena menyangkut masa depan dan nasib seluruh anak bangsa.
Keputusan penghentian kurikulum ini hendaknya mampu ditangkap dengan baik dengan penalaran yang segar. Kita hendaknya tahu, bahwa kurikulum adalah bak sebuah peta bagi guru dan siswa yang hendak menjelajahi suatu wilayah. Kurikulum bukan hanya pendataan yang akan memberi arah untuk memudahkan mencapai tujuan. Namun, kurikulum harus mampu memberi alternatif solusi atas permasalahan yang selama ini tejadi di dunia pendidikan bangsa ini.
Kita perlu tahu bahwa sejarah pelajaran mengenai pembangunan moral dan ideologi mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “meng-Amerika-kan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan nama “Theory of Americanization”. Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu diajarkan bagi warga negara Amerika Serikat.
Bagaimana dengan kenyataan bangsa kita? Sistem pendidikan yang didalamnya ada pelajaran mengenai pembangunan moral dan ideologi, misalnya agama, budi pekerti dan Pancasila kadang masih dianggap sebagai pelajaran ‘anak tiri’. Bagaimana membangun sebuah bangsa kalau bangsanya sendiri mengubur ideologinya? Pada akhirnya bangsa ini mengalami kering keteladanan dan krisis moral yang berkepanjangan.
Pendidikan mengenai pembangunan moral dan ideologi harus menjadi “Theory of Indonenization”, pengakaran kuat pada generasi bangsa pada nilai-nilai karakter dan kebangsaan Indonesia. Karena pendidikan adalah alat perjuangan dan bukan semata-mata untuk menyiapkan pembentukan tenaga kerja atau juara sebuah kompetisi.
Kurikulum 2013 memang harus diperbaiki karena dinilai bahwa guru dan sekolah lebih banyak didudukan sebagai pelaksana dari kurikulum alias bersifat sentralistik. Memang tidak sentralistik mutlak, tetapi ini bisa membawa kelemahan dan ketidakefektifan dalam kerangka ke-Bhinekaan. Juga pada penyatuan pelajaran Agama dan Budi Pekerti, jelas kita tahu bahwa agama memiliki domain ajaran yang berbeda dengan pendidikan budi pekerti. Pelajaran agama bersifat eksklusif, dogmatis, ritual, sedangkan pendidikan budi pekerti bersifat inklusif, terbuka, dan mengacu pada praksis kehidupan bersama secara bijak, adil, dan saling menghormati.
Mengintegrasikan pendidikan budi pekerti pada pendidikan agama jelas akan menyudutkan pandangkan anak-anak Indonesia berdasarkan kelompok agama dan ini akan mereduksi pengalaman mereka akan keberagaman dan kebersamaan. Untuk menjembatani itu, maka pendidikan Pancasila adalah solusi yang tepat. Pendidikan Pancasila harus tetap dipertahankan pada semua jenjang pendidikan. Dan setiap perjalanan kurikulum harus kembali pada roh dan batinnya yakni ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.
Penulis,
H. Muhaimin, Pemerhati Kebangsaan