Penguatan Kebangsaan Bendung Radikalisme
Fenomena radikalisme bernuansa agama memasuki babak baru. Hasrat warga Indonesia bergabung dengan kelompok radikal di luar negeri membuktikan radikalisme sebagai paham telah berkembang dan terserap. Publik memandang negara harus bersikap tegas terhadap penyebaran gerakan radikal.
Hal ini tampak dalam hasil jajak pendapat Kompas. Merespons peristiwa ”lenyapnya” 16 warga negara Indonesia di Turki beberapa pekan lalu, publik memandang penting bahwa negara harus bersikap jelas terhadap hal yang terindikasi berkaitan dengan kelompok radikal. Sebagian besar publik mengapresiasi upaya pemerintah menyusul 16 WNI yang tertangkap di Turki saat hendak menyeberang ke Suriah melalui jalur darat. Lebih jauh, enam dari 10 responden mendukung negara untuk membina warganya yang terlibat gerakan radikal.
Meski mayoritas publik meyakini lingkungan tempat tinggal mereka saat ini relatif aman dari penyebaran paham radikal, tiga dari empat responden tetap mengkhawatirkan pengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Publik memandang ada sejumlah faktor yang turut menyuburkan radikalisme di Tanah Air. Pemahaman keliru mengenai ideologi keagamaan dinilai sebagai faktor yang paling besar mendorong berkembangnya radikalisme bernuansa agama, diikuti dengan faktor ketimpangan kesejahteraan sosial ekonomi.
Keterbatasan pekerjaan
Rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya lapangan pekerjaan juga dipandang publik menyuburkan radikalisme. Sebanyak 14 persen publik jajak pendapat meyakini hal tersebut. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dinilai turut meningkatkan pula radikalisme. Satu dari lima responden menyatakan, penegakan hukum terlampau lemah untuk mengontrol tumbuhnya ideologi radikal bernuansa agama, apalagi menekan aksi teror.
Tak heran, separuh responden menyatakan, penanganan penyebaran paham radikal oleh pemerintah belum memadai. Kekecewaan ini justru lebih banyak disuarakan oleh responden pemeluk agama Islam. Sebagian publik menyatakan bahwa peran organisasi keagamaan dan tokoh agama untuk membentengi warga dari pengaruh paham radikal belum memadai.
Merunut kembali sikap Indonesia terhadap gerakan radikal yang kembali marak, sejak pertengahan 2014 pemerintah telah melarang penyebaran ideologi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Indonesia. Pada 4 Agustus 2014, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menilai bahwa paham yang dianut NIIS tidak sesuai dengan ideologi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kebinekaan di Indonesia.
Penegasan yang sama disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pidatonya pada pembukaan seminar ”Perkembangan ISIS di Indonesia dan Penanggulangannya” (Kompas, 23/3). Menurut Kalla, gerakan kelompok militan NIIS bertujuan mendirikan sistem pemerintahan ala kekhalifahan Islam yang disebutnya sebagai ”keinginan untuk kembali ke masa lalu” alias tidak sesuai dengan kondisi faktual masa kini.
Senada dengan sikap pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama 39 organisasi kemasyarakatan Islam juga bersepakat menolak paham NIIS. MUI dan organisasi kemasyarakatan Islam memandang gerakan NIIS yang bertindak penuh kekerasan sangat berpotensi memecah belah persatuan umat Islam dan menggoyahkan NKRI. Tidak hanya di Indonesia, kebijakan yang sama juga dilakukan banyak negara lain di dunia.
Kepribadian bangsa
Sikap pemerintah, MUI, dan organisasi kemasyarakatan Islam tersebut sejalan dengan pandangan mayoritas publik. Sebanyak sembilan dari 10 responden menilai paham radikal dari NIIS tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mayoritas publik juga menolak cara-cara kekerasan yang digunakan kelompok radikal itu demi memaksakan keyakinan mereka. Gerakan radikal bernuansa agama dipandang oleh publik mengganggu harmoni kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Namun, larangan itu seakan tidak menghentikan upaya segelintir pihak untuk memberikan dukungan kepada gerakan radikal tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat, sekitar 514 WNI masuk ke Suriah meski belum bisa dipastikan apakah mereka terlibat paham kelompok NIIS atau tidak.
Menghadapi pengaruh NIIS di Indonesia, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah untuk meredam gelombang penyebaran paham radikal yang mendukung NIIS. Pemerintah tengah mengkaji formulasi produk hukum untuk mengatur sanksi pidana bagi para simpatisan dan pengikut NIIS serta berencana menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang mengatur larangan WNI pergi ke negara konflik.
Meski sebagian kalangan menolak wacana penerbitan perppu, publik justru menilai langkah tersebut beralasan. Sebanyak tujuh dari 10 responden memandang perppu bisa menjadi payung hukum menangani gerakan NIIS. Mayoritas publik juga mendukung langkah pemerintah untuk mencabut izin agen perjalanan yang terindikasi melapangkan jalan WNI untuk bergabung dengan NIIS. Publik juga mendukung langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika yang akan memblokir situs yang teridentifikasi memuat ajaran dan paham radikal.
Pendidikan keagamaan
Merebaknya gerakan radikal di masyarakat dinilai tak terlepas dari pembiaran negara terhadap aksi-aksi kekerasan bernuansa keagamaan selama ini. Di sisi lain, upaya penanganan dengan hanya bertumpu pada perburuan pelaku teror justru berpeluang memunculkan teror dalam bentuk baru bagi demokratisasi dan supremasi sipil.
Tanpa menafikan peran polisi dan tentara, para pemuka agama dipandang perlu turun tangan untuk menciptakan dan menyebarkan pemikiran agama yang moderat dan benar. Separuh responden meyakini pentingnya pendidikan keagamaan yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan penguatan wawasan kebangsaan untuk mencegah penyebaran paham radikal. Selain itu, sikap tegas pemerintah juga diperlukan untuk mencegah ideologi radikal berkembang.
Meski kekhawatiran atas pengaruh gerakan radikal mengemuka, mayoritas responden masih meyakini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan mampu mengatasi berbagai ancaman radikalisme. Kemampuan dalam merangkul ulama atau tokoh masyarakat yang bisa berdialog dengan kelompok-kelompok agama akan sangat membantu upaya pencegahan paham radikal ini.
Purwanto, Litbang Kompas