Refleksi Sikap Politik dalam upaya Mewujudkan Nasionalisme Pancasila
Pada satu musim semi di Ilmenau, salah satu kota yang terletak di Jerman bagian timur, ada seorang kawan dari Ukraina menanyakan tentang keistimewaan Indonesia. Saat itu jawaban yang terlintas dalam benak penulis ialah keistimewaan Indonesia ada pada keberagaman etnis dan budaya, tetapi jawaban yang terucap berbeda. Jawaban dari pertanyaan tersebut yaitu salah satu keistimewaan Indonesia karena bangsa dan negaranya memiliki ideologi Pancasila. Penanya kemudian merasa penasaran dan meminta penjelasan lebih lanjut mengenai Pancasila. Setelah mendapatkan penjelasan tentang lima sila dalam Pancasila si penanya menyampaikan kekagumannya dengan mengatakan, “So that’s the five point of your nation ideologi… I wish my country has the same one”.
Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ideologi Pancasila dipandang hebat oleh salah seorang warga negara asing. Ada kebanggaan tersendiri ketika masyarakat suatu bangsa berada di tengah masyarakat internasional memiliki hal bernilai tentang negaranya yang dapat diceritakan kepada orang lain. Bukan untuk menyombongkan diri atau merendahkan bangsa lain, melainkan sebagai sebuah ekspresi nasionalisme. Betapa ironis apabila orang luar Indonesia mengagumi Pancasila, sementara itu masih ada orang Indonesia yang kurang peduli pada Pancasila.
Tidak heran jika ada orang luar Indonesia yang memahami makna dari nilai-nilai Pancasila, kemudian mengagumi Pancasila. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya makna filosofis yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Ada satu penilaian bahwa posisi Pancasila berada di antara kontradiksi dua aliran besar yakni komunisme dan liberalisme, sebagaimana diungkapkan oleh penanya tadi. Masyarakat internasional yang berpikiran terbuka serta objektif−dalam artian tidak berada pada posisi garis keras dengan memihak satu aliran tertentu, cenderung mudah memahami nilai-nilai Pancasila.
Memaknai serta berupaya menerapkan ajaran dalam nilai luhur Pancasila dapat menjadi salah satu wujud nasionalisme, karena hal tersebut merupakan bentuk kecintaan bangsa Indonesia terhadap ideologi negara yang disusun pascakemerdekaan. Oleh sebab itu, refleksi semangat nasionalisme dalam memaknai Pancasila dapat menunjukkan sikap bangsa yang tidak lupa akan sejarah Indonesia.
Persoalan muncul ketika Pancasila ditarik ulur oleh suatu kepentingan tertentu, seperti halnya ditarik ke arah yang berorientasi liberal atau ke arah yang berorientasi komunis. Hal tersebut berpeluang terjadi, sebab nilai dalam masing-masing sila apabila diuraikan semakin rinci dapat berarti berbeda bagi pihak tertentu terlebih ketika melibatkan tendensi politik. Sebagaimana pada sila kelima yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, apabila komunisme memandang konsep keadilan tersebut, tentu dapat berarti berbeda dengan inti ajaran nilai Pancasila sila kelima yang sesungguhnya.
Begitu pun sebaliknya, liberalisme dapat memandang arti Pancasila sesuai orientasi liberal seperti pada sila keempat yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Orang pada umumnya yang kurang memahami inti ajaran nilai Pancasila sila keempat cenderung menyampaikan aspirasinya seperti menuntut ataupun berunjuk rasa pada pemerintah dengan dalih rakyat berhak menyuarakan pendapat secara bebas.
Fenomena global yang demikian menunjukkan bahwa posisi Indonesia berada di antara berbagai aliran besar, seperti liberalisme dan komunisme. Negara yang menganut ideologi tertentu berupaya mencari “kawan” guna melangsungkan kerja sama internasional. Pada titik ini lah bangsa beserta pemimpin negara Indonesia dituntut agar mampu mempertahankan jati diri Pancasila yang sesungguhnya. Hal tersebut dapat disebabkan ketika negara lain menawarkan kerja sama politik dengan dalih adanya kesesuaian visi dan misi ideologi, keputusan pun harus dipertimbangkan secara matang. Persetujuan atas kerja sama antara negara Indonesia dengan negara lain semestinya tidak keluar dari batas ajaran ataupun nilai-nilai Pancasila, sehingga penerapan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terjebak pada Pancasila yang berorientasi liberal, komunis, ataupun aliran lain.
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Adanya fenomena ini turut memengaruhi memudarnya nilai Pancasila. Kini Pancasila tidak lagi dianggap sebagai dasar hukum dan landasan norma-norma bagi bangsa Indonesia. Nasionalisme dan jiwa Pancasila bangsa tidak lagi sesolid dan seteguh pada masa sebelumnya. Globalisasi menjadi pemicu hilangnya kepribadian bangsa Indonesia itu sendiri, khususnya yang menyangkut tentang nilai dan ideologi Pancasila. Akibatnya, Indonesia mengalami krisis kesejahteraan, krisis kedamaian, lupa akan identitas bangsa dan perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia terkikis digantikan dengan kebudayaan dari negara lain yang masuk ke Indonesia.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa setiap sila dalam Pancasila memiliki kecenderungan memunculkan penilaian relatif dari paham ideologi bangsa lain. Apabila pemegang keputusan negeri ini belum memahami betul inti ajaran Pancasila secara mendasar dan menyeluruh, akan berpeluang menyesatkan kelangsungan hidup pada generasi Indonesia mendatang. Pancasila terancam tenggelam dalam kegamangan menegakkan prinsip ideologi khas Indonesia di tengah arus ideologi internasional yang seolah-olah ingin “berkawan” dengan Pancasila, padahal sudah tentu Pancasila berbeda dengan ideologi negara lain. Oleh sebab itu, jangan sampai bentuk kerja sama politik internasional mengaburkan batas tegas antara ideologi Pancasila dengan ideologi negara lain. Pemimpin negeri ini seyogianya berupaya keras demi menjaga keaslian Pancasila yang dimanifestasikan dalam berbagai wujud sebagai sebuah refleksi atas sikap politik dalam mengukuhkan nasionalisme Pancasila.
Apabila sebuah negara besar seperti Indonesia berupaya bersikap tegas dengan menunjukkan pada negara lain bahwa segala aturan, keputusan, serta bentuk kerja sama hanya berdasarkan Pancasila, tentu akan ada konsekuensi yang timbul. Konsekuensi tersebut dapat berupa batasan kerja sama politik, sosial, ataupun ekonomi dengan negara bersangkutan. Akibatnya, ruang gerak kerja sama antarnegara lebih terikat dan terbatas dibandingkan jika satu negara bersikap fleksibel dengan negara lain.
Kondisi demikian memberikan gambaran bahwa pemimpin bangsa dan negara Indonesia mendapatkan amanah besar yang menuntut keberanian serta ketegasan dalam mengambil keputusan terbaik untuk Indonesia. Pada titik ini lah pemimpin Indonesia beserta wakil rakyat di bawahnya menghadapi sebuah tantangan berkaitan dengan wujud nasionalisme dalam keberpihakan ideologi. Pemimpin negeri ini pada satu sisi dituntut dapat mengawal kerja sama internasional berdasarkan prinsip Pancasila, tetapi pada sisi lain terdapat aturan politik internasional yang sulit disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, arah pergerakkan bangsa Indonesia ke depan tidak terlepas dari ketegasan pemimpin Indonesia dalam pengambilan keputusan serta keberanian menerima konsekuensi atas setiap pilihan. Pancasila sebagai satu bentuk nasionalisme ideologis turut menentukan alur kepentingan politik internasional yang sulit dihindari. Mengukuhkan ideologi Pancasila dalam berpolitik pun menantang keberpihakan bangsa Indonesia mewujudkan sikap sebagai nasionalis sejati.
Fadhila Rachmadani, Mahasiswa UGM, Yogyakarta