Ujian Keberagaman
Hari-hari telah kita lalui dengan damai. Tidak ada kekerasan, tiada keberingasan. Yang kita saksikan justru indahnya keberagaman. Pengungsi Sinabung di Sumatera Utara menunaikan tarawih di halaman gereja. Penganut agama lain di berbagai tempat membagi-bagikan makanan dan minuman berbuka kepada mereka yang berpuasa.
Kedamaian dan persatuan berlanjut di hari Lebaran. Umat Islam merayakan Lebaran secara bersamaan. Di hari Lebaran itu pun, kaum muslim di Malang, Jawa Timur, melaksanakan salat Idul Fitri di halaman gereja. Maka, kita tersentak manakala mendapat kabar di Tolikara, Papua, sekelompok orang menyerang jamaah salat Idul Fitri. Kita seperti separuh percaya ketika mendapat berita mereka membakar rumah-rumah warga hingga mengenai satu musala.
Kita seperti setengah percaya di negara berdasarkan Pancasila ini ada kelompok yang melarang kelompok lain beribadah. Bukankah Undang-Undang Dasar kita menjamin kebebasan orang memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama mereka?
Di sisi lain, ketika menjalankan hak beribadah kita wajib menjaga ketenangan masyarakat. Bukankah dalam hak melekat pula kewajiban?
Damai terkoyak di tanah Papua. Di Tolikara keberagaman seperti hendak digiring ke keseragaman. Kebinekaan dipaksa menjadi kemanunggalan. Toleransi berubah menjadi emosi. Inilah ujian bagi keberagaman dan toleransi kita sebagai bangsa yang bineka. Bangsa di sini mencakup negara dan aparatusnya, tokoh agama, hingga kita masyarakat luas.
Para tokoh di Papua menyesalkan peristiwa itu dan meminta maaf. Ulama mengimbau umat Islam menahan diri. Aparat pun segera memediasi kedua belah pihak. Namun, kita tetap mendorong penegakan hukum atas peristiwa itu. Penegakan hukum menunjukkan kehadiran negara.
Penegakkan hukum secara adil akan menepis anggapan negara berlaku diskrikinatif. Negara harus menghukum siapa pun, dari kelompok mana pun, yang kelak terbukti melanggar hukum dalam peristiwa Tolikara. Penegakkan hukum juga akan menghadirkan efek jera. Orang akan berpikir seribu kali ketika hendak menyerang orang lain yang berbeda paham. Tanpa penegakkan hukum orang akan mengulang perbuatan serupa.
Dengan berbagai upaya itu, kita berharap rusuh Tolikara tak meluas. Kita, semoga, berhasil meredamnya sehingga ia tak seperti api dalam sekam. Kita, mudah-mudahan, juga bisa meredam dendam, bukan memendamnnya dan sewaktu-waktu meluapkannya.
Jangan lagi ada yang memanas-manasi dan memprovokasi. Pejabat dan politisi jangan pula memproduksi pernyataan yang meresahkan, yang membikin situasi makin ruwet. Lebih dari semua itu, kita semua mesti menanamkan dalam-dalam di hati dan pikiran kita bahwa kita beragam. Keberagaman ialah hakikat, niscaya, juga hukum alam atau sunnatullah.
Tidak ada yang sanggup melawan hukum alam. Melawan hukum alam hanya membawa kerusakan. Tidak ada jalan lain dalam menghadapi keberagaman yang menjadi hukum alam itu kecuali dengan toleransi dan solidaritas. Insiden Tolikara menjadi pelajaran berharga yang menggugah kita untuk bersikap toleran dan solider demi merawat keberagaman.