[CERITA DARI PERBATASAN RI] Air dan Kemaslahatan Bangsa

Panjangnya musim kemarau di beberapa tempat di Indonesia, terutama di sebelah selatan garis katulistiwa diduga sebagai dampak fenomena El Nino yang telah mencapai level moderat dan diprediksi akan menguat mulai Agustus sampai dengan Desember 2015.

Tren penguatan El Nino 2015 ini ditunjukan kenaikan indeks Enso dari 1,6 pada Juni menjadi 2,2 pada Desember 2015. Dampak musim kemarau yang panjang ini, telah mulai dirasakan begitu ‘menyiksa’ bagi sebagian besar masyarakat di beberapa daerah. Fakta di lapangan rakyat sulit mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jangankan sumur, kini, sungai hingga telaga danau pun sudah kering kerontang. Memang, masyarakat masih bisa mendapatkan air dengan jumlah yang sangat minim. Tapi, itu pun harus didapatkan dengan cara mempertaruhkan nyawa.

Seperti halnya yang dialami masyarakat di Tohe, sebuah desa kecil di Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, desa perbatasan NKRI – RDTL (Timor Leste) yang keadaannya penuh dengan ironi. Betapa tidak, Tohe yang terkenal akan ketersediaan sumber daya air yang melimpah-tidak kurang dari 13 sumber mata air alami terdapat disana ternyata belum juga bisa menjadikan penduduknya sebagai tuan yang berkecukupan akan air bersih. Masyarakat desa Tohe masih harus berjuang, bahkan untuk seteguk air minum.

Setiap hari, pagi dan sore, secara bergantian, warga menghampiri sumber-sumber air dengan jerigen di tangan mereka. Mama (ibu), Bapa (ayah), maupun anak-anak, semua tidak luput dari tugas ini. Mereka begitu antusias untuk memenuhi jerigen-jerigen yang masih kosong. Air tersebut akan mereka gunakan untuk berbagai keperluan, terutama kebutuhan konsumsi dan mencuci. Tak jarang, mereka membawa gerobak-gerobak sederhana untuk memudahkan mereka dalam membawa air.

Juli ini adalah musim libur sekolah, tugas mengambil air pun mayoritas dilakukan oleh anak-anak ketimbang orang tua. Pernah sesekali penulis menyanjung anak-anak itu, “betapa rajin kalian setiap hari datang kemari untuk mengambil air”, kebetulan salah satu sumber air terletak di dekat posko KKN, jawaban mengejutkan datang dari salah satu mulut kecil mereka, “Jika tidak maka mama akan pukul kami, mama akan marah…”.

Sumber air yang ada di Tohe tidak pernah kering meskipun kemarau datang, sayangnya air yang tersedia bebas ini belum dapat disalurkan ke setiap rumah, karena berbagai macam faktor. Untuk Dusun Haekesak, tempat sumber air terbesar terletak, air memang sudah mengalir di setiap rumah. Namun tidak dengan dusun-dusun yang lain, di Dusun Kotafoun contohnya, air bersih hanya bisa ditemukan di dua titik saja, air disimpan dalam sebuah bak penampungan besar yang dibuat oleh sebuah LSM Uni Eropa, warga cukup datang, lalu diperkenankan untuk mengambil air sepuas mereka secara gratis.

Akan tetapi, ada satu dusun dimana air sangat sulit didapatkan, tidak ada saluran, tidak juga ada bak penampungan, ialah Dusun Kotakfou. Letak dusun yang berada di atas bukit nampaknya menjadi alasan utama mengapa air sama sekali tidak dapat dialirkan, medan yang terjal dan keterbatasan kemampuan pemerintah desa semakin menambah sulit air mengalir di sana. Secara keseluruhan, belum ada pelayanan PDAM di desa ini, fasilitas penunjang dari pemerintah pun belum juga terbangun sampai saat ini.

Tidak beda jauh dengan Tohe, ketahanan air di Indonesia menghadapi ancaman. Sekitar 60 persen penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa, akibatnya ketahanan menjadi defisit. Di Pulau Jawa ketersediaan air sebesar 38.569 juta meter kubik/tahun, tapi kebutuhan air pada tahun 2015 akan mencapai 164.672 juta meter kubik/tahun atau defisit 134.103 juta meter kubik/tahun.

Di Sulawesi air tersedia hanya 34.788 juta meter kubik/tahun dan kebutuhan 2015 akan menjadi 77.305 juta meter kubik/tahun. Artinya terjadi defisit 42.518 juta meter kubik/tahun. Lantas untuk Pulau Bali, ketersediaan air hanya 1.067 juta meter kubik/tahun, sementara kebutuhan 2015 adalah 28.719 juta meter kubik/tahun atau defisit hingga 27.652 juta meter kubik/tahun. Menurut data Bappenas, sekitar 77 persen wilayah di Pulau Jawa mengalami defisit air selama satu hingga delapan bulan setiap tahunnya, terutama di saat musim kemarau. Sementara pada 2025, seluas 78,4 persen wilayah di Pulau Jawa bakal mengalami defisit air selama satu hingga 12 bulan. Itu berarti sebagian besar wilayah di Jawa akan kekurangan air sepanjang tahun.

Ditambah dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan air pun melonjak. Oleh karena itu, pemerintah diimbau untuk tidak membangun waduk, karena persediaan air tidak akan mencukupi.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, November 2014, mengatakan untuk menjaga ketersediaan air, pemerintah menargetkan pembangunan 50 waduk hingga 2019. Itulah solusi ancaman krisis air menurut pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sekalipun sudah disebut lima tahun lalu, tentang tidak akan tersedianya air untuk waduk.

Darurat narkoba mungkin bisa ‘diselesaikan’ dengan mengumumkan eksekusi mati, yang diklaim bisa menghadirkan efek jera, membuat pernyataan keras dan tegas tentang kedaulatan yang menaikkan popularitas. Namun mencegah dampak krisis air, butuh tindakan, proses panjang yang bukan sekedar janji atau memaparkan program, apalagi sebatas rencana dan wacana. Butuh tindakan nyata yang tidak sekadar proyek tanpa manfaat.

Ini harus jadi perhatian, sebab tingkat ketahanan air nasional pada lima tahun ke depan belum menggembirakan karena jumlah air yang banyak masih menjelmakan bencana banjir dan langsung terbuang percuma ke laut. Kuantitas air belum dapat disimpan dengan baik dalam tanah karena rusaknya hutan.

Bagi kita khalayak masyarakat, ada beberapa hal paling sederhana, tetapi berdampak besar yang bisa dilakukan untuk menjaga ketahanan air, yakni mulai menghemat air, mengurangi berbagai kegiatan yang berdampak terhadap pencemaran air, melakukan upaya penyelamatan hutan sebagai sumber-sumber kehidupan sekaligus sebagai sumber mata air serta menjaga keberlanjutan dan ketahanan pangan.

Karena itu, apabila ingin agar ketahanan pangan terwujud dengan baik, pemerintah harus melancarkan upaya konservasi air besar-besaran dengan pembuatan waduk-waduk kecil dan sedang. Kalau airnya buruk, kesehatan masyarakat buruk, kualitas SDM juga buruk. Padahal negara kita sedang menghadapi persaingan global yang kian ketat. Perlu SDM-SDM yang lebih andal dari generasi sebelumnya dan demi keberlangsungan kejayaan bangsa Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *