Ekonomi Tuan Hamba ala Indonesia: Kajian Dampak dari Fokus Pembangunan yang Mengesampingkan SDM

Bangsa Indonesia bercita-cita untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sudah lebih dari 60 (enam puluh) tahun Indonesia merdeka tetapi belum juga sepenuhnya mewujudkan cita-cita suci kemerdekaan. Di persimpangan jalan masih banyak terdapat anak jalanan yang putus harapan, di kolong jembatan dan di pinggiran sungai masih banyak rumah tidak layak pakai, di pedesaan masih banyak generasi penerus bangsa yang tidak dapat menikmati Indahnya mengembangkan potensi diperguruan tinggi, dan suara petani yang semakin ramai mengeluh kebingungan mencari kesejahteraan.

Seperti itukah beban yang harus ditanggung oleh bangsa yang terlanjur kesuburan, oleh bangsa yang terlajur kaya, oleh bangsa yang terlanjur menjadi bagian sejarah dari bangsa yang kuat dan maju, yaitu Maja Pahit. Apa mungkin karena belum ada kesatria yang setara dengan setianya Gadjah Mada terhadap bangsanya, yang setara dengan keberanian Gadjah Mada untuk membedakan yang baik, dan tidak baik bagi bangsanya, yang setara dengan semangat Gadjah Mada untuk menyatukan Nusantara dengan melupakan kepentingan pribadi yang mengamini disintegrasi.

Di tahun 2012, World Bank dan IMF merilis bahwa Indonesia adalah bagian dari 20 negara di dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tepatnya mereka menempatkan Indonesia diperingkat 16, dan dengan sangat bangga pemerintah bersuara, bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah prestasi yang membanggakan. Tetapi tidak selesai dengan angka pertumbuhan saja, lihat bersama apa indikator pertumbuhannya. Mungkin membanggakan bagi orang yang termasuk dalam golongan masyarakat kelas menengah dan kelas atas, yang lebih banyak terlibat sebagai stakeholders yaitu pelaku ekonomi, serta perilaku konsumtif masyarakat yang memiliki daya beli tinggi dan mengambil peran besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Artinya terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas dan tidak merata, serta melenceng dari apa yang dimaksudkan dalam pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Substansi Undang-Undang Dasar tersebut jelas bertentangan dengan “Pertumbuhan Ekonomi yang terjadi”, karena pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh 40% dari golongan pendapatan menengah, dan 20% oleh golongan pendapatan teratas. Sementara itu, 40% pertumbuhan yang menjadi porsi untuk dinikmati oleh golongan pendapatan terendah terus mengalami penurunan selama periode 2002-2008, dan setelah tahun 2009 pembangunan yang dinikmati 40% kelompok terendah mengalami penurunan hingga menjadi 16,88% pada tahun 2012[1]. Dari fakta yang terjadi dapatlah dikatakan bahwa kebanggaan pemerintah atas pertumbuhan itu tidak berdasar, keberhasilan itu tidak sesuai dengan parameter dasar pertumbuhan yang dicita-citakan bangsa Indonesia.

Fakta lain yang tidak bisa dihindari bahwa ditengah pertumbuhan yang terjadi, terjadi pula pertumbuhan pengangguran. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2013 mengalami peningkatan sebanyak 220 ribu orang jika dikomparasikan dengan keadaan bulan Februari 2013, dan bertambah sebanyak 150 ribu orang jika dibandingkan dengan keadaan bulan Agustus 2012, dengan presentase 6,25% bulan Agustus 2013, 5,92% bulan Februari 2013, dan 6,14% bulan Agustus 2012[2]. Pertumbuhan yang disertai dengan semakin meningkatnya angka pengangguran tentu tidaklah baik, yang baik adalah jika pertumbuhan semakin mengurangi pengangguran. hal itu menunjukkan bahwa kita lemah dalam hal produktivitas, yang artinya Indonesia berperan besar untuk menjadi objek distribusi barang dari berbagai negara, maka tidaklah salah bahwa salah satu indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia karena masyarakatnya yang konsumtif.

Setahun terakhir (Agustus 2012-Agustus 2013) terjadi penurunan jumlah penduduk yang bekerja disektor pertanian, konstruksi, dan industri, masing-masing mengalami penurunan sebesar 2,08% (pertanian), 7,51% (konstruksi), dan 3,19% (industri)[3]. Peningkatan pekerja terjadi disektor jasa kemasyarakatan, perdagangan, dan keuangan. Penurunan pekerja disektor pertanian, industri, dan konstruksi, bukanlah tanda kemajuan baik bagi masyarakat yang hidup di negara agraris dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tetapi akan menjadi ancaman terhadap pengembangan pertanian, pembangunan infrastruktur, dan pengolahan hasil pertanian dan pertambangan melalui industri. Padahal sektor-sektor itu adalah faktor pendukung utama yang harus lebih diperhatikan untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang lebih produktif dan berdaulat dalam bidang pangan dan pertambangan. Sehingga masalah sapi tidak dibuat bergantung lagi kepada Australi dan beras tidak dibuat impor lagi ke Vietnam.

Anehnya ditengah beberapa persoalan yang terjadi di negeri ini, pemerintah masih saja bangga dengan industri motor dan mobil asing yang menghasilkan ribuan unit perhari, yang menjamin kesejahteraan beberapa pihak, bukan keseluruhan masyarakat, yang melupakan pentingnya peningkatan kualitas transportasi umum dengan menambah fasilitas jalan umum untuk membantu Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, BMW, Chevrolet, Daihatsu, dan lain-lain lebih leluasa berkembang tanpa menengok masalah kemacetan, sedangkan pengembangan mobil nasional kurang diperhatikan. Ketika berputarnya roda ekonomi hanya bergantung pada sebagian golongan yang bermodal dan tidak ada keseimbangan maka yang bermodal akan menjadi tuan dalam kerajaan perekonomian, dan akan terjadi eksploitasi tenaga kerja yang sangat kompetitif dan kurang manusiawi, serta akan menutup akses keterangkatan nasib untuk lebih maju bagi golongan masyarakat yang tidak memiliki modal, itulah ekonomi tuan hamba, itulah negara Indonesia saat ini, berdaulat dalam dunia ide jika kita mengutip pemikiran Plato.

Padahal potensi ekonomi Indonesia itu kongkrit, ada pertanian yang meliputi tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan, ada minyak dan gas bumi, ada besi dan logam mulya, dan Indonesia begitu kaya dengan budaya dan keindahan alam sebagai nilai utama pengembangan wisata. Kurang apa lagi dari negeri ini?. Apa yang salah dengan negeri ini?. Setiap pergantian pemerintahan selalu mencanangkan pembangunan yang mengarah kepada pengurangan kemiskinan, pengurangan pengangguran, keadilan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan. Apakah ada yang salah dengan fokus pembangunan yang selalu dicanangkan oleh setiap pemerintahan negara ini?. Mari kita melihat catatan sejarah pendapatan perkapita Singapura, Korea Selatan, Indonesia, dan Ghana, yang mana empat negara tersebut di pertengahan tahun 1960-an memiliki pendapatan perkapita yang relatif sama, semuanya di bawah US$ 100[4]. Keempat negara tersebut dengan caranya masing-masing menyusun strategi untuk melaksanakan pembangunan negaranya sesuai dengan kapasitas, potensi, dan sumber daya yang dimilikinya.

Setelah empat dekade dan lima dekade berikutnya dari pertengahan tahun 1960-an ternyata negara yang sumber daya alamnya terbatas,yaitu Korea Selatan berhasil melakukan transisi dari ekonomi agraris berpendapatan rendah US$ 79 di tahun 1960 menjadi negara industri berbasis teknologi yang berorientasi pada ekspor dengan PDB per kapita US$ 14.162 di tahun 2004 dan US$ 33.580,49 di tahun 2013. Begitu juga Singapura dalam kurun waktu antara 1965 dan 1997 ekonominya tumbuh terus menerus rata-rata 8,5% pertahun yang menjadikan negara itu memiliki PDB per kapita tergolong tertinggi di Asia sesudah Jepang, yang mencapai US$ 24.164 di tahun 2004 dan US$ 61.567, 28 di tahun 2013. Kemudian Indonesia dengan mengandalkan kekayaan sumber daya alam dalam membangun ekonominya memang mengalami pertumbuhan ekonomi secara terus menerus selama tiga dekade, tetapi kualitas pertumbuhan Indonesia berbeda dengan Singapura dan Korea Selatan. Terbukti di tahun 1971 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia lebih dari 45% dan sektor manufakturing hanya berkontribusi 8%. Di tahun 2002 telah terjadi transformasi, yaitu sektor pertanian kontribusinya terhadap PDB turun menjadi 15% dan sektor manufakturing naik menjadi 25%.

Walaupun sektor manufakturing telah memainkan peran yang penting dalam perekonomian Indonesia termasuk dalam ekspor, tetapi industri di Indonesia masih belum memiliki ke dalaman atau kecanggihan teknologi yang menunjang produktivitas, karena masih tergantung pada intermediate input dan komponen impor dalam jumlah yang besar. Sehingga perkembangan pendapatan perkapita Indonesia di tahun 2004 US$ 1.181,6, dan US$ 5.302,03 di tahun 2013, artinya masih jauh dibawah Singapura dan Korea Selatan. Sama halnya dengan Ghana yang juga mengandalkan sumberdaya alamnya, negara ini ekonominya stagnan bahkan PDB per kapita tahun 2004 mengalami penurunan dibanding PDB per kapita tahun 1975 yaitu dari US$ 450 menjadi US$ 380. Penduduk Ghana yang hidup di bawah garis kemiskinan hampir mencapai 40%, oleh sebab itu indeks pembangunan manusia Ghana pada tahun 2004 berada pada tingkat 131 dari 177 negara, walaupun di tahun 2013 pendapatan perkapita Ghana US$ 3.501, 53[5].

Pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan terjadinya perbedaaan keberhasilan pembangunan ekonomi antara Singapura dan Korea Selatan dengan Indonesia dan Ghana?, mengapa negara yang miskin sumber daya alam justru lebih berhasil melakukan pembangunan ekonomi?. Jawabannya adalah kunci keberhasilan Singapura dan Korea Selatan adalah keandalan human capital dalam membangun knowledge basic economy. Korea Selatan dan Singapura selama empat dekade dari pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 2004 bekerja sangat ekstra keras membangun dengan melakukan penguatan yang strategis mencakup investasi jangka panjang pada pendidikan, membangun kapabilitas inovasi, modernisasi struktur informasi dan meciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif untuk transaksi pasar. Terbukti pada tahun 1993 sebanyak 31.076 orang Korea yang belajar di Amerika Serikat merupakanperingkat ke lima setelah Cina, dan pada tahun 1995 jumlah orang korea yang memperoleh gelar Ph.D dari universitas diluar negeri sebanyak 12.088 orang, 62% berasal dari berbagai universitas di Amerika Serikat[6]. Sekitar 70% dari yang mendapat gelar Ph.D tersebut lulus antara 1991-1995, hal ini mnegindikasikan peningkatan yang drastis pada tahun-tahun itu. Diantara Ph.D yang lulus pada tahun-tahun itu, 57% adalah Ph.D dibidang sains dan teknologi (engineering)[7].

Begitu juga dengan Singapura aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan knowledge (knowledge related activities) menjadi inti penciptaan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi Singapura. Dari upaya pembangunan yang dilakukan Korea Selatan dan Singapura tersebut, yang paling diutamakan adalah pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan. Sedangkan Indonesia dengan jumlah penduduknya yang sangat besar dan sumber daya alam yang banyak pilihan strateginya adalah resource drieven-mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam untuk membangun ekonomi negaranya, begitu juga Ghana yang mengandalkan sumber daya alam untuk membangun ekonominya[8]. Cukuplah menjadi bukti bahwa keberhasilan negara dalam melakukan pembangunan ekonomi, terlebih dahulu membangun sumber daya manusianya melalui pendidikan, dengan begitu suatu negara akan memiliki daya tawar kualitas sumber daya manusia yang baik, sehingga tidak menjadi hamba di negeri sendiri, tetapi menjadi tuan di negeri sendiri.

Khairul Umam, Penulis adalah Ketua Forum Kajian Mahasiswa Filsafat Indonesia

[1] Sumber: Diolah dari BI; BPS (2012); Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D (2009)

[2] Sumber: diolah dari BPS, No. 78/11/Th.XVI,(2013)

[3] Sumber: diolah dari BPS, No. 78/11/Th.XVI,(2013)

[4] Diolah dari buku Dr. Sampurno; konwledge-Based Economy: Sumber Keunggulan Daya Saing Bangsa, Halaman 1

[5] Diolah dari data IMF yang dirilis di economy watch dan buku Dr. Sampurno; konwledge-Based Economy: Sumber Keunggulan Daya Saing Bangsa, Halaman 2-3

[6] Diolah dari Kim, Linsu. (1997). Immitation to Innovation. Harvard Business School Press dalam buku Dr. Sampurno; konwledge-Based Economy: Sumber Keunggulan Daya Saing Bangsa, Halaman 2-4.

[7] Ibid 6.

[8] Diolah dari buku Dr. Sampurno; konwledge-Based Economy: Sumber Keunggulan Daya Saing Bangsa, Halaman 1-3

Leave a Reply

Your email address will not be published.