Menggagas Mental Beragama Khas Nusantara

Identitas Buku

1234Judul: AGAMA DALAM KEARIFAN BAHARI
Penulis: Radhar Panca Dahana
Penerbit: Balesastra Pustaka
Tahun Terbit: 2015
ISBN: 978-979-1442-75-6
Jumlah Halaman: xviii + 234 halaman

Dalam banyak tulisannya, bahkan hampir dalam setiap produk intelektualnya, Radhar Panca Dahana membagi konsep tentang peradaban manusia dalam dua sifat yang berbeda, untuk tidak menyebut bertolak belakang. Di satu sisi, peradaban manusia melihat ke arah cakrawala yang ada nun jauh di horizon samudera sana. Sebaliknya, peradaban manusia yang lain melihat ke arah bukit yang berbentuk segitiga piramida: kokoh dan semakin ke atas semakin sempit.

Adab pertama, yang Radhar menyebutnya sebagai adab bahari atau maritim, disebut juga sebagai adab khas Nusantara. Peradaban sejati kita, bangsa yang tinggal di kepulauan yang membentang di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik ini. Namun sayangnya, terlacak sejak datangnya orang-orang Arya dari India yang membawa peradaban kontinentalnya membuat kita berubah menjadi bangsa yang berperadaban daratan, hingga saat ini.


Konsep besar yang tersebar dalam banyak tulisannya itu, antara lain dikumpulkannya dalam buku Agama dalam Kearifan Bahari, yang diterbitkan oleh Penerbit Balesastra Pustaka Jakarta bertepatan dengan Milad Setengah Abad usianya.

Dalam buku setebal 234 dan xviii halaman ini, Radhar mengumpulkan tulisan-tulisannya sejak pertengahan tahun 90-an. Dengan diterbitkannya buku ini, ia bertujuan untuk mengajak sidang pembaca untuk menimbang kembali pemikiran dan sikap kita terhadap agama, agar bisa lebih fit-in atau sesuai dengan realitas kontemporer. Pun demikian, ia juga menolak anggapan – yang mungkin muncul, bahwa ia menggemari terma modern dalam agama, seperti Islam liberal contohnya. Ia menganggap bahwa “sikap keberagamaan” yang didasari dengan intelektualitas itu justru tidak mencerminkan “Islam Nusantara”. Menurutnya, sikap beragama kita seharusnya berbasis pada penghayatan dan pengamalan dimana hati, emosi, dan perilaku menjadi penanda utamanya.

Sebelum membagi bukunya dalam lima bagian, Radhar memberikan pendahuluan dengan mengajak kita untuk merenungi “Agama yang (semestinya) Mempersatukan” dan diharapkan menjadi solusi paripurna manusia, namun ternyata ia seolah-olah nihil dalam problematika hidup manusia.

Di bagian pertama, Radhar mengajak kita kembali bernostalgia untuk meneladani sikap Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI, Ketua Umum PBNU, dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta). Radhar sekilas menceritakan pengalamannya sebagai siswa SMA yang dibina oleh Dewan Kesenian Jakarta. Saat itu ia menuding Gus Dur sebagai ilmuwan pelit, tetapi hanya dibalas oleh lelaki tambun berkacamata tebal itu dengan tawa lebar. Dari situlah Radhar berusaha mengingatkan kita bahwa adagium “gitu aja kok repot” benar-benar dipraktekkan oleh Gus Dur, bahkan ketika Sang Zahid itu – meminjam istilah KH Husein Muhammad – menjadi Presiden.

Dengan berupaya meneladani sikap tersebut, Radhar mengingatkan kita tentang kekerasan terorisme dan perang ideologi yang dilecut dengan konspirasi peran Amerika Serikat – yang kita tahu banyak yang sepakat akan adanya konspirasi tersebut tetapi tak sedikit pula yang menolaknya. Oleh karena itu, dalam tulisan selanjutnya Radhar menegaskan pentingnya beragama sambil berbudaya, menafikan sentimen politik yang bisa memecah-belah. Tulisnya: bukankah dengan itu, Islam, agama, terasa lebih indah karenanya.

Di bagian kedua, ia menyuguhkan beberapa puisi lamanya. Kemudian di bagian ketiga, ia masuk pada bahasan spiritualitas bahari. Jauh sebelum Joko Widodo mengusulkan tema revolusi mental dalam panggung Pilpres 2014, pada 2011 Radhar pernah menulis tentang revolusi mental merujuk pada Deklarasi Djuanda pada 1957 – yang disebutnya terlambat, bahkan sangat terlambat. Ia bahkan juga menggugat penyakit bangsa, yang disebutnya skizofrenia kultural, yang sudah sedemikian parahnya dikuasai peradaban kontinental-oksidental. Apa pasal? Radhar mengembalikan pada peradaban daratan yang sudah kita internalisasi tersebut.

Kemudian, di akhir buku ini, Radhar menawarkan adab keberagamaan bahari kita, sikap beragama yang menurutnya ideal untuk bangsa kita. Ia memisah pembahasan menjadi dua: beragama ke luar dan beragama ke dalam. Ketika berhubungan dengan luar dirinya, seorang yang beragama mesti mempertimbangkan pihak luar tersebut dalam sikap beragamanya. Contohnya, ia menulis Tuhan Ada di Kerendahan untuk mengingatkan bahwa kuatnya iman justru ada ketika seorang yang beragama itu bersikap rendah hati terhadap sesamanya. Bukan seperti logika piramida atau gunung yang meyakini Tuhan ada di puncak.

Terhadap diri ke dalam, ia mencontohkan ritual shaum (puasa) sebagai media pembelajaran untuk hidup berkecukupan. Ia juga menyinggung analogi peradaban stock yang khas kontinental, yang mengumpulkan bahan makanan secara excessive: semakin banyak semakin baik meskipun harus merebut milik tetangga. Dengan berpuasa, seorang yang beragama bisa memenangkan hatinya untuk meraih hidup yang lebih bermakna.

Akhirul kalam, buku ini memang sesuai dengan tujuan penulisnya: untuk menjadi alternatif pemikiran tentang sikap terhadap agama di masa mutakhir ini. Oleh karena itu, buku ini penting untuk dibaca oleh siapapun, terutama peminat dan praktisi humaniora Nusantara. Selamat membaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published.