Pancasila dan Pemuda

(Reposisi Peran Menwa dalam Pembudayaan Pancasila Pasca Reformasi di Kampus)

Aksi brutal yang dilakukan kelompok organisasi masyarakat berbasiskan agama pada tanggal 3 Oktober 2014 di depan gedung DPRD DKI Jakarta[1]. Aksi brutal yang hampir semua melibatkan generasi muda tersebut menjadi catatan buram dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah benar generasi muda Indonesia sekarang ini hanya sekedar menjadi alat anarkis dan kekerasan?

Aksi demonstrasi yang berujung pada pengrusakan dan penyerangan fasilitas Negara tersebut sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat atas apa yang diharapkan. Kondisi dan situasi perpolitikan di Jakarta menjadi pemicu tindakan anarkis yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi massa.Pengangkatan Ahok[2] sebagai Gubernur DKI menggantikan Jokowi telah mendapatkan perlawanan keras dari organisasi massa bernafaskan “agama”.

Tampaknya, negeri ini sedang dikepung oleh monster yang bernama kekerasan, kebrutalan, dan premanisme. Isu kebangsaan, identitas, dan etnisitas ternyata masih belum tuntas dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita. kedewasaan sebagian masyarakat Indonesia untuk menerima perbedaan dan keunikan dari setiap warga negara masih kurang di bumi Pancasila ini. Masyarakat akhir-akhir mudah diprovokasi, dihasut, dan disulut dengan berbagai amarah dan rumor yang menyudutkan pihak-pihak tertentu. Kedamaian dan ketertiban di negeri ini harus di bayar mahal dengan darah dan kesakitan. Mengapa keadaan ini bisa terjadi?

Kasus di atas menjadi refleksi kita bersama, bagaimana sebenarnya kita sebagai generasi muda membangun kebersamaan, persaudaraan, dan kerukunan di tengah-tengah kondisi bangsa dan negara yang mengalami kerapuhan ideologis dan kehilangan jati diri bangsa semakin banyak tantangan. Pancasila yang sebenarnya menjadi dasar falsafah bangsa ternyata kembali diabaikan bahkan digrogoti oleh karena mentalitas bangsa yang kredil dan berpikir pragmatis. Apakah perilaku rusuh dan brutal menjadi karakter bangsa Indonesia saat ini?

Apabila kita menengok dunia akademik di lingkungan kampus, ternyata apa yang disebut intelektual muda masih jauh dari harapan. Intelektual muda yang harusnya menjadi teladan, penggerak perubahan untuk bangsa Indonesia yang lebih baik, dan berkontribusi bagi pengembangan ilmu sulit diharapkan lagi. Sepanjang tahun 2014 tercatat berbagai bentuk tawuran antar mahasiswa yang terjadi di beberapa kampus di Indonesia seperti Universitas Sam Ratulangi (Unsrat),Manado[3]; Universitas Negeri Gorontalo[4]; Universitas Negeri Makasar[5]. Tampaknya, pendidikan belum mampu mengubah sikap dan perilaku mahasiswa untuk menjadi lebih dewasa dan lebih baik. Pendidikan hanya sekedar “formalitas” moral semata. Tuntutan untuk meraih gelar dan gengsi sosial menjadi bentuk atau kedok manusia modern sekarang ini. Tentu kita akan bertanya, lalu, pemuda sekarang ini bisanya apa? Dan berperan dimana, dalam proses pembangunan bangsa Indonesia yang lebih bermartabat?

Pemuda dalam arus perubahan gaya hidup

Gaya hidup masa kini menjadi tantangan bagi generasi muda. Gaya hidup yang dimaksud adalah cara hidup dan pola hidup yang serba ingin instant, cepat sukses, cepat lulus, cepat dapat nilai A, cepat pintar, cepat menduduki jabatan. Generasi muda banyak diiming-imingin oleh kehidupan yang serba instant dan mewah tersebut membawa mereka terseret ke arus kehidupan yang tidak mau belajar, tidak mau membaca, tidak mau susah, tidak mau merepotkan diri, dan tidak mau peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Pemuda atau generasi muda yang belajar di Universitas juga mengalami kegalauan intelektual antara kepastian dan ketidakpastian. Banyak intelektual muda merasa stagnan dalam menuntut ilmu di kelas maupun di kampus. Semangat intelektual untuk membedah ide-ide kritis semakin tidak banyak di lakukan. Ruang-ruang diskusi, dialog, dan kegiatan akademik semakin ditinggalkan. Intelektual muda sebagai ikon generasi muda yang mampu membawa perubahan kepada masyarakat kelak ternyata lebih suka nongkrong di café, internet, di pinggir jalan, atau tempat nongrong lainnya. Mereka banyak menghabiskan waktu di malam hari hanya memuaskan keinginan dirinya sendiri.

Kampus yang dinilai memiliki ide-ide kritis, inovatif, dan kreatif yang memiliki dinamika dengan interaksi berbagai macam pemuda ternyata sepi. Kesibukan mengejar kredit semester dan mendapatkan nilai baik, serta lulus cepat menjadi fenomena missal yang menjangkiti generasi muda kampus sekarang ini. Organisasi kemahasiswaan kurang peminat dan memiliki daya tarik yang rendah. Tentu kita, juga perlu bercermin ternyata beberapa organisasi kemahasiswaan hanya dimanfaatkan untuk tempat hunian sementara sehingga di rasa tidak nyaman sebagai tempat berorganisasi, selain itu ada juga organisasi kemahasiswaan hanya untuk kegiatan politik bahkan ditunggangi oleh partai politik tertentu untuk memanfaatkan fasilitas kampus dan mencari kader dari intelektual kampus. Kegiatan kampus yang notabene banyak aktivitas ilmiah dan karya yang harus diproduksi untuk melahirkan teori dan mencari solusi atas persoalan bangsa ternyata kegiatan kampus sudah bergeser menjadi ajang kompetisi band, ajang fashion show. Kalau Soekarno, bapak pendiri bangsa kita pernah mengatakan “beri aku sepuluh pemuda akan ku goncangkan dunia”, sekarang kredo tersebut telah berubah “beri aku sepuluh pemuda akan ku jadikan boy band atau girl band”.

Menengok Disorientasi Organisasi Kampus (Menwa)

         Organisasi Kampus merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mengisi waktu luang, melatih soft skills, atau menyalurkan hobi yang diminatinya. Misalnya, Universitas Gadjah Mada memiliki kurang lebih 56 Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). UKM tersebut menjadi sarana interaksi bagi mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Berbagai organisasi kampus yang menarik untuk disoroti adalah Menwa atau Resimen Mahasiswa. Menurut saya, Menwa menjadi organisasi kampus yang unik di “dunia”, di Negara-negara maju jarang sekali organisasi kampus yang menamakan dirinya “Menwa” dengan istilah bahasa mereka sendiri, mengenakan baju seragam ala militer, dan berbagai atribut kemiliteran. Konon, Menwa dibentuk sebagai organisasi mahasiswa yang bertujuan dan dipersiapkan sebagai komponen cadangan untuk mempertahankan NKRI dari ancaman dan gangguan keamanan. Sehingga, Menwa mendapatkan perlakuan khusus dan pembinaannya di bawah langsung dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan), namun seiring perkembangan zaman dan runtuhnya rezim orde baru, Menwa menjadi UKM yang pembinaannya di bawah Universitas[6]. Pada dasarnya, Menwa merupakan UKM yang dianggap khusus. Mengapa UKM khusus? Karena memiliki ciri khas yang khusus, sekretariatannya biasa eklusif terpisah dari UKM lainnya sebagaimana yang ada di Universitas Gadjah Mada. Tentu saja, design awal berdirinya Menwa waktu itu adalah sebagai bagian kepanjangan tangan Orde Baru untuk mengontrol dan mengendalikan kehidupan kampus dan Menwa ditempatkan untuk melatih pemuda menjadi komponen cadangan TNI atau bisa juga dikatakan sebagai hansip kampus.

           Sekarang, Kegiatan Menwa lebih berorientasi pada relawan pengamanan ujian masuk, pengamanan kegiatan Ospek, menjadi pemimpin Upacara bendera, melatih baris ber baris, menjadi dirigen lagu kebangsaan, dll. Pertanyaannya adalah apakah Menwa memiliki basis ideologis kebangsaan (Pancasila) yang kuat atau justru hanya memiliki basis ideologis komando (otoriter)?, keberadaan Menwa Pasca reformasi memang banyak dipertanyakan oleh berbagai kalangan mengapa harus ada organisasi kampus yang berseragam ala militer dan apa peran mereka, padahal kampus sudah memiliki satpam, penjaga keamanan sendiri, dan Unit Keamanan lainnya. Mahasiswa tidak perlu lagi harus diawasi dan dijaga. Filosofi Menwa sudah mengalami pergeseran dari organisasi untuk komponen cadangan TNI menjadi organisasi mahasiswa yang bertujuan untuk memberikan wadah bagi mahasiswa menyalurkan minat dan pengabdian mahasiswa dalam upaya bela Negara. Pada kenyataan, masih saja organisasi Menwa hanya sekedar menjadi wadah bagi mahasiswa yang “gagal” menjadi militer atau masuk menjadi taruna, sehingga mereka mencoba untuk terlibat di organisasi Menwa supaya kelak akan seperti militer. Selain itu, organisasi Menwa juga menjadi wadah untuk mengisi waktu luang bagi mahasiswa yang sekedar iseng dan menunggu panggilan tes menjadi taruna militer.

          Keberadaan Menwa di kampus masih kurang dirasakan manfaatnya, Menwa yang seharusnya menjadi organisasi terstruktur, sistematis, dan terkomando belum bisa memberikan dampak bagi kehidupan kampus untuk memberikan edukasi dan pembinaan dalam hal penanaman jiwa kebangsaan, nasionalisme, dan persatuan di kampus. Kebijakan kampus yang masih kurang memihak pada keberadaan Menwa sebagai motor penggerak perubahan di kampus dalam mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila bagi mahasiswa baru menjadi penyebab utama, Menwa terisolir dari dunia kampus. Misalnya, peran menwa dalam menjembatani persoalan konflik atau tawuran antar mahasiswa yang terjadi di beberapa Universitas di Indonesia juga belum nampak, malah anggota Menwa bisa jadi menjadi bagian dari konflik tersebut. Secara keanggotaan terkadang Menwa sepi peminat atau mengalami naik-turun yang berdampak pada kegiatan Menwa terkesan terlihat hanya aktivitas fisik tetapi rendah aktivitas intelektual. Kegiatan akademik terjadi hanya berdasarkan program dan jarang dilakukan secara rutin. Contoh lain adalah anggota Menwa dalam acara kebangsaan dan kegiatan yang bersifatnya pembudayaan nilai-nilai Pancasila justru terjebak pada kepanitiaan bukan menjadi bagian dari pengisi acara seperti pemakalah, moderator, dan konseptor acara. Sosialisasi kegiatan Menwa ke Fakultas-Fakultas juga jarang terdengar dan bahkan tidak pernah ada.

Reposisi Peran Menwa dalam Pembudayaan Pancasila

           Saatnya Menwa melakukan perubahan secara radikal. Menwa bukan lagi menjadi organisasi yang dinilai beratribut ala militer tetapi tidak memiliki konsep kebangsaan dan dasar ideologis Pancasila yang jelas. Justru, Menwa harus menjadi garda terdepan dalam mengawal dan membudayakan nilai-nilai Pancasila di kampus dan di Masyarakat. Peran Menwa sebagai organisasi kemahasiswaan harus diwujudkan secara nyata. Upaya untuk memberdayakan anggota terlibat dalam diskusi, seminar, dan konferensi, dll baik bersifatnya lokal, regional, nasional, maupun internasional harus didorong secara maksimal. Isu-isu Kebangsaan dan nasional harus menjadi perhatian utama bagi organisasi Menwa untuk kajian, penelitian, dan diskusi rutin. Menwa harus memiliki daya tawar dan posisi dalam dinamika kampus dan nasional. Setidaknya, Menwa memiliki tawaran alternatif bagaimana grand design pembudayaan Pancasila di kalangan generasi muda untuk bisa disosialisasikan dan ditawarkan ke pihak kampus, Kepala daerah setempat, dan Pemerintah provinsi di mana Menwa berada. Pasca reformasi telah banyak upaya penggrogotan nilai-nilai Pancasila di berbagai bidang. Oleh karena itu, saatnya Menwa memiliki peran untuk mengawal dan menjaga nilai-nilai Pancasila dari ancaman asing dan pihak yang tidak bertanggung jawab memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Menwa perlu mengembangkan dan menyusun laporan tahunan (annual report) yang bisa diakses oleh mahasiswa dan masyarakat umum. Annual report tersebut berisi kegiatan yang telah dilaksanakan dan akan dilaksanakan, selain itu juga diberikan muatan hasil kajian dan penelitian tentang isu-isu kebangsaan dan nasional yang telah dilakukan oleh Menwa. Bagaimana sikap Menwa terhadap persoalan radikalisasi agama, ISIS, isu perbatasan, dll. Untuk mendukung pelaksanaan penguatan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila di kampus, alangkah baiknya Menwa memiliki buku manual/modul pelatihan untuk pembudayaan Pancasila sehingga bisa digunakan untuk membuat pelatihan bagi mahasiswa atau pelajar. Dari situlah peran Menwa akan tampak nyata dan memiliki kepedulian yang konkret terhadap persoalan bangsa dan ideologi Pancasila.

 

Penulis, Hastangka (Pusat Studi Pancasila UGM)

 

[1] http://news.detik.com/read/2014/10/03/192505/2709389/10/demo-fpi-rusuh-kapolda-metro-negara-tidak-boleh-kalah-dengan-kekerasan?991101mainnews

[2] Basuki Cahaya Purnama.

[3]Tawuran antar mahasiswa diawali dengan aksi lempar batu dan berujung pada tindakan pembakaran fasilitas kampus pada Rabu,5 Maret 2014. Aksi tersebut sebagai bentuk tuntutan mahasiswa terhadap Rektor untuk mundur (sumber:http://regional.kompas.com/read/2014/03/05/1823593/Tawuran.Mahasiswa.Gedung.Unsrat.Terbakar).

[4]Konflik antar mahasiswa yang berujung tawuran hanya masalah sepele yaitu saling ejek (sumber:http://tv.detik.com/readvideo/2014/09/30/074525/140930006/061009681/saling-ejek-mahasiswa-antar-fakultas-tawuran?991108tv).

[5]Tawuran antar fakultas yaitu fakultas teknik dan fakultas Bahasa (sumber: http://makassar.tribunnews.com/2014/10/02/imbas-tawuran-mahasiswa-unm-libur-hingga-selasa).

[6] Lihat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional serta Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia No.KB/14/M/X/2000, No. 6/U/KB/2000 dan No.39 A Tahun 2000, tanggal 11 Oktober 2000, Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa (MENWA).