Pancasila Tanpa Pengamalan

SYAHRUL KIROMBung Hatta, mengatakan korupsi adalah bahaya yang senantiasa mengancam demokrasi, yang kalau tidak diberantas akan merubuhkan demokrasi, seperti ternyata dalam segala masa (pengertian Pancasila, 1981).

Kutipan dari bung Hatta diatas, sedikit memiliki kebenaran yang nyata dalam realitas kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Praktik korupsi semakin merajela dilakukan oleh manusia Indonesia. Praktik korupsi dilakukan pejabat publik, elite politik sudah menjadi kebiasan (habit) dan sering kali terjadi dalam sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia

Fenomena korupsi seperti yang kasus yang melibatkan petinggi polri, Budi Gunawan (BG) menjadikan citra buruk bagi institusi kepolisian republic Indonesia dan bagi bangsa Indonesia saat ini menunjukkan pada indikasi negara Indonesia akan mengalami kehancuran dan rubuhnya demokrasi di Indonesia. Rubuhnya sendi-sendi peradaban bangsa Indonesia adalah karena banyaknya manusia Indonesia melakukan praktik korupsi.

Korupsi yang tentunya menjadi indikator paling utama yang menjadikan pilar-pilar bangsa Indonesia akan runtuh (decline). Budaya korupsi telah merusak sistem dan birokrasi di Indonesia, sehingga berpengaruh negatif pada kinerja dan moral manusia Indonesia. Karena itu, dalam memberantas korupsi dan proses penegakan hukum diperlukan Pancasila sebagai sumber tertib hukum yang dapat memperjelas kebijakan dari Presiden Jokowi dalam mengambil keputusan untuk menentukan calon Kapolri terbaru.

Bukan menjadi rahasia umum, praktik korupsi itu dilakukan secara terorganisir. Praktik korupsi dapat dilakukan secara mulus dengan cara-cara kolusi, melalui rekan terdekat. Praktik korupsi terkadang dilakukan oleh pejabat pemerintah, dengan memberikan kesempatan untuk memenangkan suatu proyek atau tender dari program-program di kementerian negara, yang mana proyek itu diberikan oleh temen terdekat atau koncoisme.

Suburnya budaya korupsi di dalam sistem pemerintahan di Indonesia, disebabkan beberapa faktor dalam diri internal manusia Indonesia? Pertama, persoalan korupsi sejatinya terletak dalam mentalitas diri manusia. Mentalitas manusia yang buruk lah, yang selalu merasa kekurangan (unsatiabale mentality). Hidup manusia di dunia ini akan tidak pernah puas, itu sifat manusia.

Budaya korupsi dilakukan karena pejabat publik tidak pernah menghargai kerja keras, disiplin dan rasa bertanggung jawab. sehingga menyebabkan tumbuhnya mentalitas nrabas dan instan. Dengan begitu, akan menyeret dalam perilaku korupsi. Mentalitas nrabas telah menjadikan pejabat publik tidak memiliki rasa malu (shamless), atau perasaan dosa, kuwalat atau karma yang akan divoniskan Tuhan pada orang yang mengkorupsi uang negara. Nilai-nilai itu telah lenyap dan hilang dalam pikiran mereka. Mereka lebih mementingkan nafsunya untuk membahagiakan

Kedua, persoalan korupsi itu terletak dari rendahnya manusia dalam menjaga moral dan martabatnya. Pejabat publik dan elite politik telah kehilangan bathin dan nalar sucinya untuk dapat membedakan mana perbuatan yang benar dan buruk. Moralitas pejabat terkikis akibat dirasuki oleh hasil keringat yang tidak halal. Hal ini sehingga murka dan kebiadaban manusia yang mengarahkan pada tindakan praktik korupsi. Moralitas adalah benteng terakhir dalam membangun kejujuran dan amanah. Apabila pejabat publik tidak memiliki pertimbangan moral dalam menjalankan tugas pengabdian negara. Pancasila tidak pernah dijadikan pijakan dalam setiap mengambil keputusan atas persoalan kebangsaan Maka runtuhlah pilar-pilar demokrasi di Indonesia..

Ketiga, Persoalan korupsi itu muncul karena pejabat publik dan elite politik tidak pernah mempedulikan dan menghargai, menghormati nilai-nilai Pancasila yang telah diusung oleh para founding father. Pejabat publik tidak cukup memahami Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan juga sila-sila yang lain sejatinya dapat membangun kesadaran kritis bagi pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi. Mereka yang melakukan praktik berarti telah mencederai keberadaan Ketuhanan Yang Maha Esa, Rasa Kemanusiaan yang adil beradab, persatuan Indonesia, rasa kerakyatatan yang dipimpin dalam permusywaratan/perwakilan dalam hikmat kebijaksanaan, dan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ironis sekali negara Indonesia yang memiliki falsafah hidup pancasila, tetapi perilaku korupsi masih tumbuh subur dilakukan pejabat publik dan elite politik. Sungguh paradoksal sekali dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup (weltanschauung) manusia Indonesia sebenarnya telah memberikan petunjuk hidup (wereld en levens beschouwing) yang jelas bagi perilaku dan tindakan manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akhirnya kita hanya dapat berharap kepada Presiden Jokowi dalam mengambil keputusan dalam menentukkan calon Kapolri terbaru agar berpijak pada nilai-nilai Pancasila sehingga ada perubahan yang positif dari sisi mental, moralitas dalam sistem pemerintahannya terutama para pejabatnya. Dengan demikian,   Nilai-nilai pancasila bisa diamalkan secara praksis dalam setiap menjalankan tugas pengabdianya pada negara, dengan maksud untuk saling peduli antar sesama manusia dan menjaga pilar-pilar demokrasi di Indonesia. Semoga.

Syahrul Kirom, M.Phil

One thought on “Pancasila Tanpa Pengamalan

Leave a Reply

Your email address will not be published.