Pancasila, untuk Apa Lagi?

Lanjutan…. dari artikel Pancasila?

Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” bukan dibangun, malah dirusak oleh rasional pembangunan selama ini. Ada daerah yang terus digali kekayaan buminya demi kenaikan GNP, tetapi sama sekali tidak dibina kemampuan penduduk lokal berprestasi teknik-ekonomis melalui pendidikan umum dan kenaikan skills serta kemungkinan penerapan technical know-how tadi dengan mendirikan sentra-sentra produksi lokal. Daerah seperti ini diberi predikat “tertinggal”, padahal bukan karena salahnya, tetapi karena mereka ditelantarkan oleh proses pembangunan.

Sila keempat. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” secara diam-diam dianggap tidak praktis, jadi dibiarkan begitu saja. Sebagai gantinya dipakai sistem voting dalam pengambilan keputusan, cara yang tidak dipujikan oleh Pancasila. Memang “musyawarah” bisa memakan banyak waktu, jadi tidak cocok, bukan unapplicable, dalam kondisi, ditingkat dan fokus tertentu. Namun, di tingkat akar rumput ia bisa dan sudah diterapkan sejak dulu, seperti terbukti di lingkungan subak dan banjar di Bali, desa di Jawa dan nagari di Minangkabau. Maka jalankanlah pembangunan yang konsepnya memungkinkan musyawarah berjalan. Ia pasti bukan development in terms of income, tetapi, misalnya, in terms of social space.
Pada tahun ‘80-an abad yang lalu, di tengah-tengah maraknya “Perang Dingin” antara blok Barat dan Timur, diselenggarakan konferensi tentang Concensus and Peace di UNESCO. Sewaktu membuka konferensi tersebut, Amadou-Mahtar M’Bow, Dirjen UNESCO (ketika itu), menganjurkan para peserta bermusyawarah (discussion in common) agar berangsur-angsur tercapai mufakat (agreement) sebagaimana yang lazim dilakukan di lingkungan traditional societies.

Bukankah dasar penganugerahan hadiah “Nobel Perdamaian” untuk Obama adalah sekalu Presiden Amerika Serikat dia memilih dialog dan perundingan (musyawarah) sebagai instrumen untuk menyelesaikan konflik internasional (mufakat).

Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”, tidak terwujud, padahal suatu kebijakan fiskal yang relevan bisa melakukan itu. Praktik pembangunan berpotensi besar untuk mewujudkannya, asalkan penguasa menyadari bahwa Rakyat Indonesia, secara instingtif bagi yang kurang terpelajar, secara nalariah bagi yang terpelajar, menginginkan sekaligus to have more dan to be more sebagai ukuran keadilan. Bangsa merupakan suatu komunitas besar dari manusia yang dipersatukan oleh aneka ragam ikatan dan, lebih-lebih, digabungkan in fact oleh budaya. Bangsa eksis “oleh” budaya dan “untuk” budaya. Oleh karena itu, pengaruh pokok pendidikan yang menyakinkan adalah bahwa manusia can be more di dalam komunitas. Komunitas inilah yang punya sejarah yang melampui sejarah individual dan keluarga.

Berlaku Jujur

Demikianlah, pembangunan selama ini merupakan sebab utama dari keterpurukan Pancasila. Padahal, kita selalu mengucapkan “Negara Pancasila” dan “Demokrasi Pancasila”. Sudah saatnya kita berlaku jujur, sesuai ucapan dengan perbuatan, dengan membina ideologi pembangunan yang diturunkan sepenuhnya dari ideologi Pancasila. Pembangunan adalah kerja besar bangsa untuk mengisi kemerdekaan. Kita jangan “mengkeret” bila dikatakan irasional sebab rasionalitas tindakan kita, individual dan terutama kolektif, secara logis diturunkan dari kaidah humanistik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila.

Pancasila sebagai orthodoxi punya dua aspek, yaitu denunsiasi dan anunsiasi. Denunsiasi berarti mengkritik keadaan yang berlaku sejauh mengenai hubungan sosial antarmanusia masa kekinian. Dari aspek ini muncul anunsiasi, yaitu penggambaran suatu masyarakat yang ideal, sebagaimana didambakan oleh bangsa Indonesia.

Maka, sebagai keseluruhan dapat dikatakan bahwa Pancasila memiliki metode tertentu dalam memandang, memegang kriteria tertentu dalam menilai. Hal ini menuntunnya untuk berbuat pertimbangan-pertimbangan (judgements) tertentu tentang gejala-gejala, prediksi, dan ajuran tertentu mengenai langkah-langkah praktis. Ia mengajarkan suatu kombinasi dari berpikir dan intervensi aktif sebagai cara menangani kenyataan sejauh intervensi sosial memang dapat menanggulanginya. Ia dalam dirinya merupakan seperangkat gagasan vital yang mengawasi secara kritis tindak tanduk manusia Indonesia dan pada gilirannya, mengharapkan disempurnakan oleh manusia ini.

Kalau Presiden SBY benar-benar berniat mewariskan a valueable legacy that is worthy by the name, dia sebaiknya sekarang membentuk “Kabinet Pancasila” instead of “Kabinet Pancasila Indonesia Bersatu kedua” dan berprogram kerja yang betul-betul Pancasilais. Kebijakan ini membuktikan bahwa dia adalah seorang presiden pilihan sejarah dengan misi memupus sejarah kemunafikan bangsanya. Jangan baru geger setelah ada bangsa yang “mempatenkan” Pancasila. Atau akan didiamkan saja, karena kita memang ingin to get rid of it, tidak membutuhkannya lagi.

Daoed Joesoef, Penulis adalah Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Sumber: Suara Pembaharuan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *