Refleksi Hari Lahir Pancasila : Mencari Spirit Yang Hilang
Semoga bukan sekadar rutinitas tahunan, jika setiap tanggal 1 Juni, kita selalu memperingatinya sebagai hari lahirnya Pancasila. Teringat kita akan sejarah lahirnya bangsa Indonesia, ketika dalam suasana sakral tersebut kita patut mengenang kembali peristiwa yang begitu monumental manakala founding father, Bung Karno, menggali ideologi bangsa dalam rapat pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, dan pada 1947 adalah kali pertama tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.
Adalah benar, bahwa pada saat tanggal 1 Juni 1945 itu Soekarno mengusulkan nama dasar negara kita dengan nama Pancasila. Kemudian, bangsa ini dengan penuh kebanggaan menerima Pancasila sebagai panduan hidup bernegara dan berbangsa serta acuan untuk membangun persatuan dan kesatuan, sekaligus sebagai dinamisator untuk menggerakkan semangat membangun bangsa besar ini.
Pancasila sebagai spirit kebangsaan yang disusun sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan disahkan karena dianggap paling sesuai dengan karakter rakyat Indonesia. Lima butir besar yang mencerminkan pribadi bangsa ini, tentu seharusnya walapun puluhan berlalu, makna dan pengamalan Pancasila pun sejatinya tidak memudar. Namun dengan melihat kondisi hari ini, tentu kita merasakan seakan ada “spirit yang hilang”.
Pancasila sebagai ideologi dan spirit bagi masyarakat Indonesia, malah dicederai dengan berbagai praktik yang justru mengaburkan nilai luhur pancasila itu sendiri, seperti tebang pilih penegakan hukum, maraknya pembegalan, anarkisme, narkoba, prostitusi dari kalangan muda, penodaan agama, hingga permasalahan kesenjangan sosial.
Dalam Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengalami erosi nilai dengan memudarnya semangat keberagamaan. Termasuk dengan munculnya wacana penghilangan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk Inonesia. Ini tentu sangat disayangkan, mengingat pentingnya agama yang menjadi ruh dari sila pertama Pancasila.
Pun munculnya gerakan-gerakan sempalan seperti sekulerisme, pluralism, liberalisme dan yang menodai agama juga semakin menjadi kekhawatiran kita semua, terlebih tidak tegasnya pemerintah dalam menindak aktifitas penodaan agama tersebut. Begitupun Sila Kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dimana kemanusiaan tergerus oleh pragmatisme, hedonisme dan konsumtifisme. Sehingga kemanusiaan semakin teralienasi dari ruang publik.
Maraknya kasus yang melukai kemanusiaan baik kepada balita, pelajar dan para wanita. Kekerasan dan pelecehan seksual juga mulai berani muncul di ruang publik, tentu hal ini harus disikapi dengan serius. Jangan sampai korban kemanusiaan terus berjatuhan karena lambatnya kita dalam mengantisipasi.
Dan yang terbaru adalah peristiwa banyaknya pengungsi Rohingya di barat Indonesia. Lihatlah bagaiman respon para pengambil kebijakan di negri ini, respon kemanusiaan yang teramat lambat dengan mempertimbangkan untung-rugi, padahal resikonya adalah nyawa manusia. Justru respon cepat di dapat dari masyarakat aceh dan sekitarnya.
Kita patut bersyukur masih ada nurani di masyarakat yang segera merespon panggilan kemanusiaan di sana, ketika para pemimpin negri masih berfikir, ternyata sudah ada anggota masyarakat yang langsung bergerak.
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Ini pun mulai tergerus akibat arogansi kelompok dan primordial yang menggurita, mulai dari level nasional hingga daerah. Akibatnya, martabat dan integritas anak bangsa terjerembab dalam cengkeraman kuku primordialisme dan arogansi anti nasionalisme. Gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, adalah PR besar bagi pemerintah dalam menjaga keutuhan Negara Indonesia.
Sila Keempat. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, Dimana spirit permusyawaratan dan mufakat sering kali ditelikung oleh kekuatan modal. Sehingga kata mufakat bukan lagi sebagai hasil dari kebijaksanaan bersama, tapi tak lebih sebagai kompensasi uang yang serba materi.
Sehingga tidak heran kalau banyak kebijakan yang dilahirkan kurang menyentuh kesejahteraan dan kebutuhan dasar rakyat banyak. Ini tentu menjadi catatan besar bagi mereka yang berjuang di ranah politik dan pemerintahan.
Sementara Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, ini tentu belum dirasakan secara layak bagi masyarakat Indonesia. Lihatlah di tengah – tengah berlimpahnya sumber daya alam bumi nusantara, ternyata masih banyak kita temukan daerah – daerah miskin.
Padahal kemerdekaan Indonesia sudah hampir memasuki usia 70 tahun dan 15 tahun lebih berjarak dari era reformasi. Masih saja ada masyarakat yang sulit berobat, masih adanya angka putus sekolah, dan peningkatan angka pengangguran.
Perwujudan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejatinya merupakan perwujudan paling kongkret dari prinsip-prinsip Pancasila yang dilukiskan secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945 dengan kalimat kerja,”mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahkan bisa dikatakan bahwa nilai-nilai Pancasila benar-benar terwujud jika pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sudah dalam melaksanakan fungsi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang ekonomi, pendidikan, sosial politik, kesehatan maupun hukum.
Hilangnya spirit nilai-nilai Pancasila ini kalau tidak secepatnya dipulihkan keluhuranya oleh negara, maka bisa jadi akan mematikan karakter dan nasionalisme anak bangsa yang berujung pada hilangnya jati diri bangsa. Namun tentu tak mungkin jika hanya mengharapkan peran tunggal Negara, harus ada keterlibatan semua pihak.
Pancasila, seharusnya bukanlah sekedar seremoni ritual para pejabat dan para elit politik. Pancasila adalah dasar negara, dan spirit dari nilai-nilai dasar bangsa yang harus terwujudkan dalam praktek kehidupan sehari-hari, khususnya oleh mereka, para pejabat, elit politik di negeri ini dan kita semua.
Agar Pancasila dapat benar-benar dirasakan oleh rakyat, sebagai sesuatu yang amat bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, adil, sejahtera dan bebas dari segala bentuk praktek manipulasi. Semoga dengan ini dapat kita temukan kembali spirit yang hilang tersebut.
Rio Setiady, Generasi Muda Pangkalpinang