Toleransi dari Kampung Pancasila

Kampung Pancasila? Tentu itu bukan nama yang sebenarnya. Julukan itu muncul seiring dengan suasana harmoni dan sikap toleransi beragama yang ditebarkan warga kampung itu, warga Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Harmoni kerukunan antarumat beragama di Desa Balun sudah ada sejak desa itu lahir dan terus terpelihara hingga saat ini. Kepala Desa Balun Sudarjo mengatakan, tahun 1990-an, saat gencarnya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Desa Balun menjadi semacam percontohan untuk pelaksanaan program pemerintah itu. Sejak itulah Desa Balun masyhur dengan sebutan Kampung Pancasila.

Desa Balun terletak tidak jauh dari poros utama Surabaya-Tuban. Wilayah Desa Balun seluas 621,103 hektar itu berpenduduk 4.730 jiwa dari 1.234 keluarga. Harmoni desa terasa saat melihat warga mengayuh sepeda mengenakan caping hendak ke sawah atau tambak. Mayoritas warga, yakni 1.466 jiwa, bermata pencarian petani atau petambak.

Ketika menyusuri jalan-jalan sempit di Desa Balun, aroma kebinekaan itu terhirup kuat. Balai Desa Balun terletak sekitar 1 kilometer dari jalan Surabaya-Tuban. Sekitar 200 meter dari balai desa, di situlah terdapat tiga tempat ibadah berupa masjid, gereja, dan pura dalam satu area yang berdekatan.

Di Desa Balun berkembang tiga agama, yakni Islam, Kristen, dan Hindu. Tempat ibadah yang ada berdekatan dengan lapangan desa dengan jarak satu sama lain kurang dari 100 meter. Namun, warga hidup berdampingan secara harmonis dan saling menghargai, termasuk pada momentum Ramadhan.

Di sebelah barat lapangan berdiri Masjid Miftahul Huda berasitektur Timur Tengah dengan nuansa hijau dan kuning. Masih satu kompleks dengan masjid ada bangunan Madrasah Ibtidaiah (MI) Tarbiyatush Shibyan, sementara di kanan masjid ada Sekolah Dasar Negeri Balun.

Di selatan masjid terdapat bangunan berarsitektur Bali, yang dipisahkan jalan lingkungan selebar 4 meter. Bangunan yang menghadap ke selatan itu adalah Pura Sweta Maha Suci, tempat ibadah umat Hindu. Sekitar 70 meter di depan Masjid Miftahul Huda atau di timur lapangan terdapat Greja Kristen Jawi Wetan menghadap ke barat.

Meski hidup dengan keyakinan yang berbeda, bahkan tempat ibadahnya pun dalam satu area, warga saling menghargai.

Salah seorang warga, Suwito (46), merasa nyaman hidup di Desa Balun. Sebagai Muslim, ia berharap situasi rukun damai di desanya bisa dipertahankan agar masyarakat bisa bersama-sama memajukan desa. ”Pembangunan desa akan lebih lancar tanpa ada perselisihan,” tutur Suwito.

Warga lain, Sleman (56), menuturkan, umat Hindu pun bisa melaksanakan ibadah dengan nyaman. Saat ini ada sekitar 150 keluarga pemeluk agama Hindu.

Saat ini tercatat 3.780 pemeluk Islam, 688 warga Kristen, dan 282 penganut Hindu di Balun. Toleransi semakin tinggi karena terdapat pemeluk agama yang berbeda-beda dalam satu keluarga. Prinsipnya, semua warga bisa melaksanakan ibadah dengan aman dan nyaman.

Mengubah jadwal

Ketika Ramadhan tiba, umat Islam yang tadarus membaca Al Quran di Masjid dengan pengeras suara hanya dibatasi sampai pukul 22.00 agar tidak mengganggu umat lain. Umat Hindu tanpa diminta mengubah sendiri jadwal sembahyangnya. Kalau biasanya dilakukan sekitar pukul 19.00, selama bulan puasa jadwalnya diubah sebelum maghrib.

”Tujuannya agar tidak mengganggu warga Muslim yang berbuka puasa dan shalat tarawih. Biasanya sembahyangnya warga Hindu setiap pasaran Kliwon malam Legi (kalender Jawa) dan saat bulan purnama,” tutur Sleman.

Toleransi antarpemeluk tiga agama di Balun juga ditunjukkan saat memperingati hari besar agama masing-masing. Saat umat Islam merayakan Lebaran, umat lain memberikan selamat dan turut berpesta.

Di Jawa Barat

Apakah toleransi seperti itu hanya ada di Kampung Pancasila? Rupanya masih banyak harmoni serupa. Cerita kerukunan beragama juga datang dari Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat.

Martinus Sutarman (30), warga Kampung Cipager, Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, merasakan indahnya perbedaan agama dalam lingkup keluarga besarnya. Saat ini keluarga besarnya terdiri dari pemeluk Islam, Katolik, dan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Tidak pernah ada konflik mengatasnamakan agama.

”Memeluk agama menjadi kemerdekaan pribadi masyarakat yang tidak bisa dipaksakan karena datang dari keimanan dan ketaatannya masing-masing,” kata Sutarman.

Terpisah 20 kilometer dari Cigugur, yakni di Kampung Susuru, Desa Kertayasa, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, terdapat tiga keyakinan yang berkembang, yakni Islam, Katolik, dan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Sebagai sarana penunjangnya, berdiri satu gereja, tiga masjid, dan tempat saresehan bagi pemeluk kepercayaan. Letaknya berdekatan satu sama lain.

Pemuka agama Islam setempat, Kurdi Sopandi, mengatakan, tidak ada gesekan agama antarwarga. Semuanya bebas menjalankan agama masing-masing tanpa tekanan.

Di ujung selatan Tasikmalaya, kerukunan beragama juga hadir di tengah warganya. Di Kampung Kalaksanaan, Desa Cikaungading, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, berdiri Gereja Kristen Pasundan yang mampu berbaur dengan mayoritas warga beragama Islam di sekitarnya.

Kontributor : Adi Sucipto K

Leave a Reply

Your email address will not be published.