Apa kabar Pancasila?
Indonesia jika direfleksikan kebelakang, betapa ironisnya sejarah yang telah diukirnya. Masa revolusi yang tanpa kepastian akan keadaan bangsa pada saat itu, namun dapat memupuk rasa optimisme berbangsa untuk menuju kehidupan bangsa yang mandiri dan penuh dengan semangat untuk menggapai cita- cita. Sekarang ini, yang katanya Indonesia telah berada pada gerbang kemerdekaan yang telah diakui secara de facto maupun secara de jure. Namun, justru dirasa semakin tidak jelas arah mau kemana Negara bangsa ini akan dibawa sehingga menyebabkan pesimisme (quo vadis Indonesia).
Pertanyaannya adalah bagaimana bisa bangsa ini melupakan sejarah? Melupakan perjuangan para pahlawan bangsa yang tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan pujian, serta konsensus yang telah ditorehkan bersama dari Sabang hingga Merauke. Mereka keluar masuk hutan, dikejar peluru, berpisah dengan anak istri, hingga mengorbankan harta dan jiwanya untuk memerdekakan bangsa ini dari penjajahan. Perjuangan itu tidak hanya sampai itu saja, bahkan mesti berperang dengan saudara sendiri, baik itu Perang Semesta (Pemesta) maupun PRRI yang melawan arus sentralisasi yang sangat dominan dan kental ketika itu.
Bagaimanakah Indonesia yang telah 68 tahun merdeka? Sudahkah menjadi negara bangsa yang ‘dewasa’? Apakah telah menjadi negara yang memiliki wibawa di depan rakyatnya? atau hitungan tahun tersebut belum lagi berarti dan dianggap ada di hati rakyatnya? Berbagai macam pertanyaan pun mungkin ada dibenak rakyat ini setelah melihat kenyataan yang terjadi pada saat sekarang ini.
Berbagai macam masalah di negeri ini terjadi tidak berhenti- henti, berbagai kasus tidak pernah mengenal titik atau koma, berbagai macam musibahpun melanda. Mulai dari masalah moral hingga korupsi yang menggila. Persoalan- persoalan tersebut menggelinding seperti bola salju yang kian lama kian membesar dan seperti bom waktu yang siap meledak kapa saja. Seperti terjadinya gejolak- gejolak di beberapa daerah pada wilayah bangsa ini sebagai ungkapan ketidakpuasan dalam berbangsa.
Jikapun ada usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka menurut hemat penulis masih dalam sekedar formalitas dan ‘tidak serius’, seperti dinamika tambal sulam. Ditambal di sini, bocor di sana. Disulam di sana, jebol di sini. Artinya, bangsa ini masih dirasa belum lagi serius dalam mengurusi dirinya sendiri dan dianggap ada. Kondisi seperti hal ini mungkin persis dengan apa yang diungkapnkan Qu Yuan, seorang penyair klasik Tiongkok, “bila terbit matahari aku bekerja, bila terbenam matahari aku beristirahat, aku minum dari sumur yang kugali, aku makan dari ladang yang kugarap, apa artinya kekuasaan kekaisaran itu bagiku?”
Dalam tulisan ini penulis tertarik untuk menganalisis terhadap beberapa ‘kasus’ yang merupakan refleksi terhadap kenyataan bahwa negara ini masih ‘jauh’ dari kemerdekaan yang hakiki. Pertama, penulis berfikir bahwa telah keluarnya pola pikir warga negara bangsa ini terhadap pola berbangsa dan bernegara. Instalasi politik yang dijadikan sebagai ‘panglima’ semakin tidak jelas dan tidak stabil.
Reformasi yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk ‘mengarahkan’ bangsa ini pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari zaman sebelumnya ternyata keluar dari apa yang diharapkan. Reformasi sebagai salah satu jalan menuju demokrasi telah menjadi komoditi yang mahal untuk memperoleh posisi jabatan politik.
Indikasinya dapat kita lihat dengan kenyataan bahwa begitu ambisiusnya manusia- manusia Indonesia untuk menepatkan diri pada posisi yang menjanjikan fasilitas yang serba ‘wah’ dan penuh dengan prestise tersebut sehingga tidak segan- segan untuk menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Dengan demikian, menurut hemat penulis bahwa orientasi dan motivasi untuk menjadi pemimpin pada bangsa ini tidak lagi sebagai upaya dalam mensejahterakan bangsa dan negara tetapi hanya sebagai upaya untuk meraih materi dan fasilitas yang ada di dalamnya serta sebagai jalan untuk mensejahterakan keluarga, kelompok, partai dan golongan saja, sehingga masyarakat atau warga negara terabaikan.
Kedua, pendidikan belum lagi mampu membawa ‘pencerahan’ dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kenyataannya, dapat kita lihat bahwa dari setiap tahunnya ribuan dari lulusan sekolah tingkat atas hingga perguruan tinggi ternyata masih sebagai ‘beban negara’, pengangguran terdidik secara reguler memadati Indonesia. Siapa yang ‘bernyali’ maka akan menjadi pahlawan devisa, mengadu nasib sebagai TKI.
Alasan penulis dalam melihat kenyataan pendidikan belum lagi sesuai dengan harapan adalah implementasi mencerdaskan itu belum lagi dapat dijadikan oleh anak- anak sekolah di negeri ibu pertiwi ini, ketika mereka tamat dari sekolahnya maka mereka dapat untuk memilih kehidupan mereka yang layak, mendapatkan hak- hak hidup mereka yang layak, namun sebaliknya terjadi yaitu pendidikan belum lagi dapat menjawab warga negara ini untuk tidak hidup di bawah kolong jembatan, menjadi TKI serta memberikan alternatif atau solusi untuk menciptakan lapangan kerja yang ‘menjamin’ kehidupan mereka yang manusiawi. Apabila negara belum lagi dapat menjawab harapan, dan memenuhi apa yang diinginkan oleh warga negara ini lantas pantas dirasa kita mempertanyakan kemanakah kemerdekaan bagi warga Indonesia? Mestika Zed mengungkapkan, ‘barangkali tidak ada yang keberatan jika dikatakan bahwa kita kini hidup seperti hidup dalam dua republik: Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki terwujudnya Republic of Hope itu secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya’ (‘Menjadi Pemimpin di Negeri yang Keluh Kesah’. Padang, haluan, 5 Maret 2011).
Salah satu ‘pondasi’ dalam tatanan bangsa Indonesia adalah dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar negara. Semenjak orde lama hingga orde baru, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang ‘sakral’. Setiap warga Indoensia diharuskan untuk mengetahui dan mengamalkan nilai- nilai yang dikandung Pancasila. Pada zaman orde baru setiap warga Indonesia diwajibkan untuk mengikuti penataran P4, mulai dari anak sekolahan hingga pegawai negeri. Sangat pentingnya Pancasila maka dalam perundang- undangan yang berlaku di ranah politik menjadi acuan, tidak boleh sebuah organisasi politik bertentangan dengan Pancasia dan Pancasila harus menjadi azaznya.
Lantas bagaimanakah fungsi dan peran dari Pancasila di zaman reformasi ini? Mungkin pertanyaan tersebut merupakan hal yang menarik untuk kita pertanyakan, karena seiring dengan perjalanan waktu yang menyebabkan terjadinya perubahan pada segala ranah di Negara Indonesia ini. Romo Magnis Suseno berpendapat bahwa, ‘kondisi kebangsaan saat ini, berupa berbagai macam peristiwa yang merusak Hak Asasi Manusia bangsa ini, seperti adanya ancaman dari pihak konsumerisme yang latah mengikuti segala macam globalisasi, orang yang hanya memikirkan konsumsi di mana tempat untuk kebangsaan. Tantangan yang lain adalah ekstrimisme dan kepicikan agammais. Ancaman-ancaman kebangsaan tersebut dapat diminimalkan dengan cara kembali pada Pancasila’.
Namun, pada sisi lain, Buya Syafi’i Maarif mengamati bahwa Pancasila dengan nilai-nilai luhur yang diperjuangkan selama 40 tahun dengan menguras energi bangsa agar dapat diterima oleh mayoritas mutlak rakyat Indonesia untuk menjadi dasar negara permanen telah disingkirkan begitu saja dalam praktik oleh parewa politik, baik di Senayan, di daerah, maupun di lingkungan eksekutif, dan yudikatif, dari pucuk hingga sampai tingkat paling bawah (‘Saat Pancasila Tak Lagi Bertaji’. Kompas, 10 April 2012).
Apakah Pancasila masih dijadikan sebagai nilai dasar oleh warga negara, apakah masih dijadikan dasar pijakan dalam membangun bangsa ini, apakah masih menjadi satu- satunya azaz, dan berbagai pertanyaan muncul ketika kita bicara tentang dasar negara bangsa Indonesia ini? Lantas kita bertanya, ‘apa kabar Pancasila?’.
Lismomon Nata, Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi Universitas Andalas, Padang