Seputar Masalah Korupsi di Indonesia
Hari-hari ini santer terdengar bahwa sejumlah pejabat tinggi Negara dan pimpinan kepala daerah di Indonesia terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi. Media massa pun ‘ribut’ tak kepalang tanggung memberitakan hal ini, bahkan tiada hari tanpa pemberitaan siapa-siapa yang korupsi di negeri ini. Melihat geliat data dan informasi yang menunjukkan akhir-akhir ini bahwa sebagian besar para pengurus negeri ini terserang mental korup dalam tindakannya, membuat kita bertanya-tanya. Sesungguhnya ada apa dengan sistem yang tengah berjalan di negeri tercinta ini, ataukah sebegitu bobroknya ‘warisan’ budaya yang telah ditinggalkan dari pendahulu pengurus negeri ini, atau ada apa?
‘Memahami’ Fenomena Korupsi
Sejarawan Onghokham dalam tulisannya pada majalah Prisma (Februari 1983) menyebutkan bahwa fenomena korupsi di negeri ini telah tampak sejak terjadinya pemisahan kekuasaan antara kepentingan pribadi dengan jabatan, dengan sistem adanya pengawasan. Lebih jauh, bahwa Aditjontro (2002) membagi fenomena korupsi dalam tiga lapis. Pertama, dalam bentuk suap dan pemerasan. Jika pada lapis suap inisiatif datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau penguasa pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara. Sedangkan pada lapis pemerasan inisiatif untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau pejabat pelayanan publik. Kedua, Nepotisme (mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pejabat publik) dan kronisme (mereka yang tidak punya hubungan darah dengan pejabat publik), nepotisme dan kronisme yang ditujukan untuk mendapatkan cara-cara instan (mudah) demi kepentingan pribadi maupun golongan. Ketiga, Jejaring yang bisa bercakup regional, nasional, ataupun internasional, yang meliputi unsur pemerintahan, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum.
Dengan demikian, bahwa fenomena korupsi itu melibatkan multifaktor, setidaknya ada empat hal. Yaitu faktor politik, hukum, ekonomi dan birokratik serta transnasional (Saldi Isra, 2008). Pada Faktor politik terlihat jelas bahwa menjadi pejabat publik di negeri ini masih sangat tidak bisa dilepaskan dengan faktor uang yang dipergunakan untuk tingkah laku negatif seperti menyogok, membeli suara pada ajang kontestasi pemilihan, dan lain sebagainya. Pada Faktor hukum sangat terlihat jelas, misalnya, sudah menjadi rahasia umum bagaimana kelamnya ‘persilatan’ dunia hakim dan ambiguitas serta begitu manipulatif proses pembuatan peraturan hukum di negeri ini. Pada faktor ekonomi dan birokratik, seperti yang dikemukakan oleh sosiolog Mochtar Naim bahwa telah terjadi “hubungan yang mesra dalam kelompok triumvirat antara penguasa negara, sipil maupun militer dengan para konglomerat yang menguasai jalur ekonomi, serta dengan para kapitalis multinasional yang menguasai sumber daya alam Indonesia” (Mochtar Naim, 2012).
Titik balik Pemberantasan Korupsi?
Mengikuti alur pikiran di atas, terasa bahwa jalan panjang pemberantasan korupsi akan dialami negeri ini, bagaimana tidak? karena di satu sisi upaya pemberantasan korupsi dalam pendekatan hukum yang sedang digalakkan saat ini kontraproduktif dengan sistem politik, hukum dan ekonomi yang sedang digunakan, di sisi lain sistem budaya di negeri ini yang tidak pernah dipedulikan. Dengan demikian tulisan ini secara sederhana ingin mengajak pada dua hal. Pertama, melakukan perenungan secara ‘dalam’ tentang hingar-bingar pemberitaan korupsi di negeri ini.
Adakah hingar-bingar tentang maraknya fenomena korupsi tersebut semakin membawa bangsa ini beradab dan berdaya saing, atau membuat bangsa ini semakin terlihat ‘bobrok’ di tengah ‘kemajuan palsu’ yang ditunjukkan? Kedua, tulisan ini ingin mengajak kita untuk berpikir persoalan korupsi ini dari hulunya bukan tiba di hilir. Karena di tengah keadaan dan sistem yang berjalan saat ini, rasanya jika persoalan korupsi sibuk pada persoalan hilirnya saja, maka hari-hari kita akan semakin tak ‘mengenakkan’ dengan terus bermunculan aktor-aktor korup tersebabkan oleh sistem yang dijalankan dengan sendirinya mencetak prilaku korup. Namun, jika kita ingin melihat dari persoalan hulunya, maka secara sistematis akan terlihat secercah harapan yang menghantarkan akan terkikisnya prilaku koruptif.
Secara sistematis persoalan di hulu yang begitu mendesak untuk diatasi dalam kaitan dengan pencegahan dan pengobatan jangka panjang dari penyakit yang bernama korupsi, minimal pada tiga hal. Pertama, memperbaharui sistem politik (baca: meraih kekuasaan) terutama pada pilihan sistem demokrasi padat modal yang tengah dijalankan ini. Terkesan kuat bahwa sistem demokrasi yang kita jalankan ini adalah sistem demokrasi cangkokan, seperti apa yang dikemukankan oleh Yudi Latif (Kompas, 5 Februari 2013). Di samping demokrasi yang sedang kita jalankan saat ini tengah berjalan di atas ketimpangan sosial-ekonomi yang begitu lebar ‘menganga’, serta kesenjangan di bidang pendidikan. Padahal idealnya, demokrasi itu harus berjalan dari, oleh, dan untuk rakyat di atas prinsip kesetaraan.
Kedua, secara berangsur dan teratur harus ada upaya mengarah kepada memutus sistem ekonomi kapitalistik yang bagi Indonesia murni hanya mementingkan dua kepentingan sejoli antara penguasa dan pengusaha, kepada sistem ekonomi berbasis kerakyatan. Seperti apa yang diinginkan oleh aliran substantif dalam kajian antropologi ekonomi. Secara singkat, pemikiran substantif dalam antropologi ekonomi adalah, bahwa sistem ekonomi dipandang tidak merupakan suatu unsur tersendiri, terutama dalam konsepsi penduduk masyarakat yang dominan non-industri. Di sini sebagian dari sistem ekonomi terlebur ke dalam unsur organisasi sosial, ke dalam sistem kekerabatan, dan sebagian lagi ke dalam religi dan ilmu gaib (Polanyi, 1949). Apalagi gejala-gejala ekonomi tidak bisa hanya dipahami secara tuntas hanya dengan teori ekonomi klasik yang memisahkan dari norma-norma moral dan kepercayaan yang mewarnai kehidupan di dalam masyarakat (anthony Giddens, 1985).
Ketiga, perlu adanya pikiran jangka panjang mengenai persoalan ketahanan sistem budaya pada bangsa ini. Jangan salah dan mulailah berfikir bahwa seribu satu masalah yang sering muncul dan seolah-olah tak pernah habisnya di negeri ini, termasuk prilaku koruptif yang merebak. Jangan-jangan ini turunan dari persoalan lemahnya sistem budaya bangsa Indonesia, kaburnya identitas budaya bangsa, serta tak menentunya program ‘memajukan kebudayaan nasional’ yang didengungkan dalam pasal 32 UUD 1945.
Abdurrahman Rasyid, Penulis adalah Peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengkajian Peradaban Indonesia (LP4I), Yogyakarta