Kesejahteraan Rakyat Indonesia dan Gerakan Anti-Globalisasi

Foto AJRuntuhnya Ode Baru sebagai simbol kekuatan intervensi dan hegemoni institusi-institusi global di Indonesia oleh gerakan mahasiswa yang menuntut perubahan pada tahun 1998, berimplikasi pada menguatnya isu-isu menolak kehadiran institusi-institusi global. Penolakan ini disuarakan oleh berbagai kalangan, mulai dari aktivis mahasiswa, akademisi, pengamat, tokoh-tokoh masyarakat, dan lain sebagainya. Akibatnya, Di Indonesia pun terjadi Gerakan Anti-Globalisasi sebagai implikasi gerakan berkapasitas internasional tersebut. Hal itu dapat dibuktikan dengan terbentuknya Forum Sosial Indonesia (FSI).

Dalam pertemuan persiapan pembentukan FSI di Yogyakarta pada tanggal 20-21 Februari 2004, telah disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, adanya pertemuan delegasi Indonesia yg berangkat ke WSF (World Social Forum) IV di Mumbai, India, pada Januari 2004 yang dihadiri sekitar 80 orang aktivis, yang menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan Forum Sosial Indonesia. Kedua, adanya proses internalisasi dan inspirasi dari semangat (spirit) perlawanan forum rakyat dunia yang berkumpul di Mumbai untuk menandingi World Economic Forum (WEF) di Davos, tempat dimana para pimpinan kapitalis berkumpul untuk menata tatanan masyarakat dunia ini dengan ”kehendak kerakusan” mereka. Dengan slogan ”Another world is possble”, maka seluruh rakyat dari berbagai dunia berkumpul untuk meneriakkan semangat anti neo-liberal, global kapitalis dan seluruh infrastruktur institusionalnya. Ini dikarenakan mayoritas rakyat dunia telah menjadi korban dari dominasi imperialisme yg mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan penindasan politik (Globaljust.org)

Platform dasar forum ini adalah Anti Neo-Liberalisme, Anti-Globalisasi Kapitalis dan Anti-Rezim Anti Rakyat di Indonesia. Sedangkan tujuan utama FSI adalah terwujudnya konsolidasi masyarakat sipil Indonesia yang mencerminkan platform dasar dan visi FSI bagi penguatan gerakan sosial. Adapun tujuan khususnya adalah: pertama, terlaksananya berbagai program dalam penyelenggaraan FSI untuk menjadi wadah demokratis bagi pertukaran pemikiran, perumusan alternatif, inisiatif-inisiatif baru, ekspresi seni dan budaya, aspirasi demokratis, aksi-aksi kreatif, dan berbagai hal lain yang mungkin; kedua, adanya penguatan, pemberdayaan, inspirasi, pencerahan, refleksi, kreasi dan sebagainya dari para peserta FSI; ketiga, adanya kerjasama yang erat diantara berbagai organisasi, lembaga dan kelompok masyarakat sipil dalam penyelenggaraan FSI; dan keempat, adanya konsolidasi sesama aktivis dalam membangun gerakan sosial yang kuat. Cakupan isu dalam FSI diantaranya mengenai: privatisasi, perdagangan, industrialisasi, kedaulatan pangan, dan lain-lain. Isu-isu tersebut jelas searah dengan isu-isu dalam gerakan anti-globalisasi.

Forum ini sangat representatif sebagai Gerakan Anti-Globalisasi yang terorganisir secara nasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya organisasi-organisasi partisipan dalam forum tersebut. Organisasi-organisasi yang dimaksud antara lain: Koalisi Anti Utang (KAU), The Business Watch Indonesia, Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, Indonesia People’s Forum, WALHI, Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Insist, Suara Ibu Peduli, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Serikat Pekerja (SP), Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI), Suara Keadilan, Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Komunitas Anging Mamiri, Aliansi Reforma Agraria (AGRA), Bina Desa, dan lain sebagainya. (Globaljust.org).

Dilain hal, WALHI secara lebih spesifik juga menyuarakan ketidakadilan bagi rakyat akibat dominasi institusi-institusi global. Hal itu terlihat dari nilai-nilai perjuangannya yang dikenal dengan Manifesto WALHI, diantarnya: pertama, demokrasi: Seluruh rakyat harus terlibat dalam proses pengambilan keputusan apa pun yang akan berdampak bagi keberlanjutan kehidupan rakyat; kedua, keadilan antar Generasi: Semua generasi baik sekarang maupun mendatang berhak atas lingkungan yang berkualitas dan sehat; ketiga, keadilan gender: Semua orang berhak memperoleh kehidupan dan lingkungan hidup yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, agama dan status sosial; keempat, penghormatan Terhadap Mahluk Hidup: Semua mahluk hidup baik manusia maupun non manusia memiliki hak dihormati dan dihargai; kelima, persamaan Hak Masyarakat Adat: Masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara berhak menentukan nasibnya sendiri untuk berkembang sesuai kebudayaannya; keenam, solidaritas sosial: Semua orang memilik hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang sama; ketujuh, Anti Kekerasan: Negara dilarang melakukan kekerasan fisik dan non fisik kepada seluruh rakyat; kedelapan, keterbukaan: Seluruh rakyat berhak atas semua informasi berkenaan dengan kebijakan dan program yang akan mempengaruhi kehidupannya; kesembilan, keswadayaan: Semua pihak diharapkan mendukung keswadayaaan politik dan ekonomi masyarakat; dan kesepuluh, profesionalisme: Semua pihak hendaknya bekerja secara profesional, sepenuh hati, efektif, sistematik dan tetap mengembangkan semangat kolektivitas.

Lahirnya FSI dan Manifesto WALHI dengan nilai-nilai perjuangannya merupakan bukti bahwa wacana dan ideologi anti-globalisasi telah menyebar di Indonesia. Penyebaran ideologi ini akan semakin menguat seiring makin kuatnya kekuasaan institusi globalisasi neo-liberal, seperti IMF dan Bank Dunia, termasuk perusahaan-perusahan multi nasional (MNC) yang menyebabkan hilangnya kedaulatan rakyat Indonesia (dedemokratisasi). Hal itu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan negara.

Kebijakan pemerintah saat ini telah mendorong perekonomian Indonesia ke jebakan utang (Debt Trap) yang lebih dalam. Tingkat ketergantungan Indonesia kepada utang luar negeri sudah sangat mengkuatirkan, sehingga kita tidak dapat melepaskan diri lagi dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Kita sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam membangun diri sendiri. (Soeprayitno, 2008: 159)

IMF pun memaksakan kehendaknya mengintervensi semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam Letter of Intends (LOI) yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah dalam berbagai bidang seperti perbankan, sistem desentralisasi, kebijakan fiskal, moneter dan bank sentral, pivatisasi BUMN, membuka investasi asing, lingkungan dan jaring pengaman sosial. (Soeprayitno, 2008: 160)

Pasca runtuhnya Orde Baru ternyata tidak secara otomatis menghilangkan hegemoni institusi global di Indonesia. Negara ini terus dihantui oleh beban hutang yang semakin besar akibat diterimanya bantuan IMF, Bank Dunia, dan lembaga keuangan internasional lainnya dalam setiap perbaikan ekonomi nasional. Salah satu bukti hegemoni mereka dalam perekonomian nasional dapat kita lihat dari persoalan privatisasi.

Kebijakan privatisasi pertama kali diatur pemerintah tahun 2001 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 tentang Tim Kebijakan Privatisasi BUMN. Dalam pasal 8 Keppres ini dinyatakan bahwa salah satu tujuan privatisasi BUMN adalah untuk meningkatkan good corporate governance, serta memperluas partisipasi masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Kebijakan privatisasi BUMN juga memiliki dasar hukum melalui UU No. 19/2003 tentang BUMN. Dengan kebijakan ini, privatisasi diarahkan dengan cara menjual saham negara (divestasi) dan sekaligus menjual saham baru (dilusi). (M. Danial Nafis, 2009: 118-119)

Ketidakberdayaan pemerintah ini diperparah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2008 pada tanggal 4 Pebruari 2008 yang mengizinkan pembukaan hutan untuk pertambangan. Menurut Soepriyatno, peraturan pemerintah tersebut ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi 13 perusahaan yang menambang di hutan lindung. Sebagian besar adalah perusahaan tambang asing raksasa, seperti Freeport dari AS, Rio Tinto dari Inggris, Inco dari Canada, dan Newcrest dari Autralia. (Soeprayitno, 2008: 175).

Hadirnya Globalisasi Neoliberal di Indonesia yang menuntut adanya perpaduan antara pasar bebas dan demokrasi, sama sekali tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Bahkan proses perpaduan ini semakin memperbesar ketimpangan ekonomi yang berujung pada sulitnya pemenuhan kesejahteraan rakyat.

Satu hal yang dapat kita pahami bahwa lahirnya berbagai aturan hukum di atas belum berpihak pada rakyat. Kedaulatan rakyat telah tergadaikan. Akibatnya, demokratisasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum memberikan dampak ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara ekonomi adalah masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam proses demokratisasi. Demokrasi yang menjanjkan kebebasan bagi setiap orang untuk berkarya, justru termonopoli oleh kekayaan materiil segelintir orang.

Demokrasi hanya cukup diukur dengan cara-cara yang prosedural, seperti dengan dilaksanakannya pemilu, adanya partai politik dan dewan perwakilan rakyat serta lembaga-lembaga negara lainnya, atau dianutnya sistem presidensil. Dengan kata lain, demokratisasi di Indonesia belum mampu menjawab sebuah persoalan yang sangat urgen, yaitu, bagaimana mewujudkan kedaulatan rakyat seutuhnya?.

Oleh sebab itu, gerakan anti-globalisasi yang dipelopori oleh FSI (Forum Sosial Indonesia) dan WALHI misalnya, telah menggiring demokratisasi pada usaha-usaha mewujudkan kedaulatan rakyat seutuhnya. Berdasarkan ideologi gerakannya yang menentang adanya dominasi IMF, Bank Dunia, WTO, dan Perusahaan Multinasional yang dianggap menghambat demokratisasi, dapat kita pahami bahwa demokratisasi di Indonesia harus lebih dimaknai dan diusahakan pada sesuatu yang lebih substansial. Yaitu, terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sangat mustahil rakyat Indonesia bisa berdaulat seutuhnya kalau mereka masih belum sejahtera. Mustahil dapat berdaulat kalau kemiskinan, kelaparan dan ancaman menganggur bagi kaum muda masih menjadi permasalahan utama mereka. Dengan kata lain, pada Orde Reformasi ini, Gerakan Anti-Globalisasi telah memberikan ukuran yang mutlak untuk demokratisasi Indonesia bahwa negara ini bisa dikatakan demokratis apabila rakyat lebih berkuasa dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam dan hasilnya mereka juga yang menikmati bukan pihak asing dan pemilik modal. Sebuah tatanan demokrasi yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat pribumi.

Ahmad Juhairi, M.Phil. Alumnus Fak. Filsafat UGM

Leave a Reply

Your email address will not be published.