Pancasila Dasar Negara Paripurna
Sungguh sangat terasa sekali, bahwa semenjak digulirkan reformasi di negara kita, terdapat beberapa keprihatinan yang dirasakan tentang makna Pancasila bagi bangsa dan Negara Indonesia. Salah satunya Pancasila sebagai ideologi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi terpinggirkan. Dalam pidato-pidato resmi. para pejabat menjadi phobi dan malu untuk mengucapkan Pancasila. Anak-anak sekolah tidak lagi mengenal bunyi dan urutan Pancasila, apalagi nilai-nilai Pancasila. Bahkan kampus-kampus yang notabene sarat para cendekiawan pun berkembang kecenderungan untuk menafikan Pancasila. Sejak gerakan reformasi digulirkan dari kampus-kampus di tanah air, nampak berkembang kecenderungan untuk menafikan Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita.
Sejak reformasi Pancasila menjadi semacam ketabuan dan barang aneh. Dalam beberapa tahun kemudian, nilai-nilai luhur Pancasila mulai dilupakan orang. Lebih menyakitkan lagi, Pancasila malahan telah dijadikan kambing hitam dari semua permasalahan dan kekurangberhasilan atas pengelolaan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan negeri ini. Pancasila bahkan disalahkan dan dituding sebagai penyebab terpuruknya negeri ini pasca krisis moneter tahun 1997. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan, bangsa Indonesia yang semakin hiruk pikuk demokrasi dan kehidupan berpolitik.
Di lain pihak, justru Pancasila sangat dikagumi oleh tokoh-tokoh di luar negeri. Sebagai contoh, Yaman ketika baru saja lepas dari bentuk monarki, para pemimpin muda Yaman menjadikan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai pembanding sebelum menentukan dasar negara mereka. Begitu pula Dr. Izzat Mufti, seorang intelektual dan pejabat tinggi Arab Saudi sangat memuji Pancasila. Ia menyatakan,”Pancasila telah menjadi bingkai persatuan bangsa Indonesia. Berbeda dengan bangsa Arab, meskipun mempunyai kesamaan budaya dan bahasa tetapi terkotak-kotak lebih dari 20 negara (Ali, 2009: XI-XII).
Syekh Ahmad Kaftaru, seorang Mufti Syria, dalam ceramahnya di Damaskus pada pertengahan 1987, menyatakan kagum terhadap Indonesia. Bahwa penduduknya berperilaku sangat santun dan bersahaja, murah senyum, memberi hormat kepada orang yang baru dikenal dengan membungkukkan badan, terkenal toleran dan terpancar kesabaran serta tutur bicara yang halus. Ia malu dengan dunia Arab yang tercerai berai dan saling bermusuhan. Seharusnya orang Arab memberi contoh kepada orang ajam (non Arab, karena telah lebih dahulu mengenal budaya Islam. “Namun sayang, di era reformasi, Pancasila yang saya kagumi dipersoalkan oleh sejumlah anak bangsa. Saat terjadi krisis yang mengakibatkan keterpurukan di hampir semua kehidupan, Pancasila dijadikan kambing hitam” (Ali, 2009: XIV).
Mengawali pidatonya di depan sidang BPUPK 1 Juni 1945 Bung Karno menyampaikan. “Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda “Philosofische gronslag” daripada Indonesia merdeka. Philosofische gronslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.” Dalam pidato tersebut Soekarno mengusulkan dasar negara yang terdiri atas lima prinsip, yaitu Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Peri Kemanusiaan), Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan). Muhammad Yamin yang berpidato sebelumnya, menyampaikan usul dasar Indonesia merdeka yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan (A. Permusyawaratan, B. Perwakilan, C. Kebijaksanaan), dan Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial). Tokoh-okoh Islam mengusulkan agar dasar negara yang disepakati nanti adalah dasar Islam.
Selesai sidang, BPUPK membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, Muhammad Yamin. 22 Juni 1945 Panitia Kecil menghasilkan Piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tanggal 10-16 Juli 1945, BPUPK mengadakan sidang II. Hasil sidang antara lain Menyetujui Rancangan Preambul yang sudah ditandatangani pada 22 Juni 1945, yaitu Piagam Jakarta, dan membentuk Panitia Kecil Perancang UUD, yang berkewajiban merumuskan rancangan isi batang tubuh UUD, sehingga berdasarkan dua keputusan tersebut berarti Panitia Perancang Undang-Undang Dasar pun telah menyetujui Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD yang akan dipergunakan kelak.
Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI akan mengadakan sidang yang rencananya akan dimulai pada pukul 09.30. Bung Hatta meminta kepada Bung Karno sebagai Ketua PPKI agar sidang diundur, karena Bung Hatta akan mengadakan pendekatan (lobby) dengan kelompok Islam, karena pada tanggal 17 Agustus sore terjadi suatu peristiwa yang sangat penting, yang ikut menentukan nasib kehidupan agama Islam pada masa-masa yang akan datang. Sore itu Bung Hatta kedatangan seorang opsir Jepang yang mengaku utusan dari Kaigun ( Angkatan Laut ) yang menguasai daerah Indonesia Timur yang didampingi oleh Sigetada Nisyijima (pembantu Laksamana Maeda), untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa wakil-wakil Protestan dan Katholik di daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang sangat keberatan terhadap bagian kalimat dalam Rancangan Pembukaan UUD yang berbunyi ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka mengakui bahwa kalimat itu tidak mengikat mereka yang tidak beragama Islam, tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok UUD, berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika apa yang mereka namakan diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Negara Republik Indonesia.
Sebelum Sidang Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Muhammad Hasan mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantikannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu berarti pemimpin-pemimpin tersebut benar-benar lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. lebih mementingkan nasib dan persatuan bangsa.
Prof. Dr. Tukiran Taniredja, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
ilhamudin
onFebruary 28, 2015 at 06:51 says:
Tulisan yang disuguhkan Prof Tukiran sangat komprehensif dan segar sekali. Semoga semakin menginspirasi masyarakat untuk lebih menghayati Pancasila dan sejarahnya secara utuh dan mendalam.
Salam…